EMPAT PULUH ENAM. Regret

11.4K 571 31
                                    

"Gue gak terima penolakan."

Amira langsung memutuskan kontak matanya dengan Althaf. Ia tak menghiraukan ucapan Althaf. Malah menganggapnya seperti titik hujan yang menyapu jalanan.

"Amira!" Mencoba mengalahkan suara hujan, Althaf kembali memanggil nama cewek itu.

"Gue gak mau." Amira kekeuh.

Althaf tak akan menyerah. Apa pun caranya, Amira harus pulang dengannya malam ini. Lagipula ia tidak tega meninggalkan Amira di sana sendirian. Sekarang sudah malam. Apalagi Amira itu seorang gadis. Bagaimana kalau sesuatu terjadi pada cewek itu?

"Lo harus pulang sama gue!" pinta Althaf lagi.

"Lo tuli? Gue bilang gak mau, ya, gak mau!" kesal Amira.

Cukup. Sampai disitu saja Althaf meminta Amira pulang dengannya. Sekarang cowok itu berinisiatif bertindak dengan cara lain. Tangan kokoh Althaf terulur. Memang pada dasarnya kekuatan Althaf lebih besar dari Amira, sehingga dengan mudahnya cowok itu menarik Amira untuk berdiri.

Tak mengulur waktu lebih lama lagi, Althaf membawa Amira ke dalam dekapannya yang hangat.

"Di sini dingin," desis Althaf pada cewek di dekapannya itu.

Hangat, juga nyaman. Jika bisa, Amira ingin waktu berjalan lebih lambat. Ia tak ingin mengakhiri kehangatan itu. Jantungnya saja berdebar-debar. Namun, pada saat itu Amira patuh pada pendiriannya. Ia memberontak, meminta Althaf melepaskan dekapan itu. Amira merasa Althaf sudah mempermainkannya. Jelas-jelas cowok itu meminta Amira untuk pergi dari hidupnya. Tapi, mengapa sekarang cowok itu malah mendekatinya kembali?

Percuma, Amira tak bisa mengalahkan kekuatan Althaf. Bukannya dilepaskan, kaki Amira malah terangkat dari tempat pijakannya. Althaf menggendongnya.

Tak banyak lagi kendaraan yang berlalu lalang di jalan. Oleh sebab itu, dengan mudahnya Althaf menyeberangi jalan karena mobilnya ada di seberang jalan. Sebelum menghampiri Amira, cowok itu sudah memperhatikan cewek itu dahulu dari mobilnya.

Amira semakin memberontak, karena Althaf membawanya menerobos hujan, ia menjadi basah. Akhirnya pukulan Amira di dada bidang Althaf mempan. Buktinya, Althaf menurunkan Amira di atas beton badan pembatas jalan.

"Althaf, mau lo apa sih?" tanya Amira dengan nada berteriak.

Jika ia berbicara seperti biasanya, maka tak akan sampai tertangkap oleh gendang telinganya Althaf, karena saat ini suara hujan terdengar tanpa jeda.

"Gue mau anterin lo pulang. Bukankah udah jelas?" Suara Althaf tak kalah kerasnya.

Mata Amira sudah berkaca-kaca. Ia tak sanggup lagi. Ia menangis, karena yakin hujan akan membuat tangisannya tak terlihat. Tetesan air matanya saja telah dihapus hujan.

"Bukannya lo mau gue pergi dari hidup lo? Gue udah lakuin itu. Gue tau, gue gak sepenuhnya pergi dari hidup lo, gue udah coba buat ngejauhin lo. Tapi, kenapa lo malah ngedeketin gue lagi?" Ada jeda beberapa detik. "Lo pikun ya, Althaf?"

Bungkam. Althaf sadar apa yang dikatakan Amira itu benar.

"Lo juga mau mainin perasaan gue?" Suara Amira terdengar serak.

"Maaf." Akhirnya satu kata itu meluncur dari mulut Althaf.

"Gue tau kalo gue jahat. Mainin hati banyak cewek. Dan jujur, gue gak niat buat mainin perasaan lo. Gak pernah, karena gue beneran sayang sama lo." Jeda tiga detik, Althaf pun kembali bersuara, "Gue sadar, mainin hati banyak cewek, terus minta lo buat jauh-jauh dari gue itu gak mempan. Itu susah, Amira. Gue gak bisa lupain lo, gue gak bisa jauh dari lo."

Althaf menyentuh pundak Amira. Matanya menyiratkan ketulusan dan tanpa kebohongan di sana.

"Gue nyesel minta lo jauhin gue. Gue malah rindu sama lo. Sampai sekarang, gue masih sayang sama lo Amira. Dan juga, gue minta maaf udah bentak lo hari itu. Maafin gue, ya?" Mata Althaf ikut berkaca-kaca. Ia sadar Amira menangis dari nada bicara cewek itu.

Melihat ketulusan Althaf, Amira jadi luluh. Ia tak mengangguk. Namun, ia malah memeluk Althaf setelah mengucapkan ini "Gue juga masih sayang sama lo."

Althaf tersenyum. Pelukan Amira bukankah sebagai tanda kalau cewek itu memaafkannya? Tentu saja Althaf langsung membalasnya.

Keduanya sudah basah kuyup. Justru karena itu, mereka memutuskan untuk berlari ke arah mobilnya Althaf dengan tangan saling bertautan. Setelah masuk ke mobil, dua manusia itu saling melempar senyum. Mereka sudah baikan.

Tiba-tiba, senyum Amira luntur. Lantas membuat Althaf keheranan. Althaf mengusap rambut Amira yang basah, lalu bertanya.

"Lo kenapa?"

"Lo yakin mau nganterin gue pulang? Ayah gue pasti bakalan marah," jawab Amira khawatir.

Althaf malah tersenyum simpul, seolah itu bukan lagi masalah.

"Gue lebih khawatir kalo lo sakit setelah ini," ucap Althaf karena mereka basah kuyup.

"Lo tenang aja. Gue gak bakalan nyerah," sambung Althaf sembari menyentuh pundak Amira. "Ayo kita hadapi sama-sama!"

***

Kala kendaraan roda empat itu berhenti di halaman rumahnya, Amira merasa takut dengan kemarahan ayahnya. Tepatnya, yang menjadi permasalahan adalah dengan  siapa ia pulang. Ditambah ia pulang dengan basah kuyup.

Kakinya sudah menginjak teras rumahnya. Ia menoleh ke arah Althaf yang berjalan bersisian dengannya.

"Gue--"

"Gak usah takut Amira." Althaf memotong ucapan Amira bagai bisa membaca pikiran cewek itu.

Karena rumahnya tak terkunci, ia langsung memasuki rumah diikuti Althaf di belakangnya setelah mengucap salam. Tepat sekali dugaannya. Agus sudah menunggunya di ruang keluarga.

Amira khawatir melihat perubahan air muka ayahnya kala menyadari kehadiran Althaf. Ia yakin sekali kalau ayahnya akan marah. Amira bersembunyi di belakang punggung ibunya yang baru saja datang.

Belum sempat dimarahi Agus, Althaf berlutut di hadapan ayahnya Amira itu.

"Maaf jika saya terlalu lancang, saya hanya ingin meyakinkan Om kalau saya tidak seperti Abang saya. Saya tulus Om, saya benar-benar sayang sama anak Om. Saya mohon, restui kami. Saya gak akan nyakitin Amira, saya janji." Althaf menundukkan wajahnya.

Sebenarnya ibunya Amira tak tega melihat Althaf berlutut seperti itu. Namun, ia tak ingin mencampuri urusan suaminya. Wanita itu memeluk putrinya yang tadinya bersembunyi di belakangnya. Menatap iba pada cowok yang dicintai putrinya.

"Om, saya beneran sayang sama Amira, Om. Saya gak akan nyakitin Amira. Saya janji." Dengan beraninya Althaf kembali mengucapkan itu seolah meyakinkan ayahnya Amira.

Hingga sebuah tangan pun terulur. Melihat bagaimana keberanian dan ketulusan Althaf.

"Bangunlah, Nak!"

***

Mendekati ending.

Makasih buat kalian semua. Bilang next aja di komentar saya udah senang. Sekali lagi makasih my readers😘

Maaf lama update, karena beberapa hari yang lalu saya kurang sehat. Ditambah les sore untuk persiapan UN yg tinggal beberapa bulan lagi. Juga habisnya kuota menjadi salah satu alasan saya 😂 padahal udah kelar nulis.

Tunggu ya part selanjutnya.

Maaf atas segala kekurangannya.

By Warda,
Suka Makmur, Aceh Besar.

             19.November.2018

AMIRALTHAF [Completed]Where stories live. Discover now