ONE

14.1K 1.2K 72
                                    

Orang-orang selalu mengatakan padamu, betapa beruntungnya menjadi seorang anak tunggal. Kau akan disayang orang tuamu, dimanja, mendapat apapun yang kau inginkan tanpa harus susah-susah memikirkan saudaramu.  

Kau bisa menguasai mainan yang dibelikan, selalu mendapat baju baru, bukan bekas dari saudaramu. Kau bisa menghabiskan seluruh kue ulang tahunmu sendirian, dan tidak perlu bertengkar tentang siapa yang mendapat bagian yang paling banyak.  

Tapi nyatanya, menjadi seorang anak tunggal itu tidak se-menyenangkan yang kau kira. Semua pekerjaan rumah menumpuk di kedua bahumu. Selain itu, kau tidak punya orang lain untuk disalahkan jika kau membuat kesalahan. Dan yang terpenting, kau tidak memiliki teman untuk berbicara saat kau sendirian. Tidak memiliki seseorang yang dekat denganmu dan mendengarkan seluruh keluh kesahmu.

Sebenarnya, awalnya aku tidak membutuhkan saudara. Tempat aku lahir dan tinggali selama beberapa tahun terakhir ini cukup membuatku tidak merasa kesepian. Aku memiliki seorang teman, sahabat baik, bisa kubilang. Sahabat baik yang sudah seperti saudaraku sendiri. Seorang sahabat yang terasa seperti kembaranku, mengingat bagaimana kami memiliki sifat yang sama. Sama-sama gila.  

Kami tidak pernah terpisahkan. Dimana ada aku, pasti ada dirinya. Dia itu seperti bayanganku, dan aku juga seperti bayangannya.  Tapi semua hal itu harus berakhir pada saat dengan terpaksa, aku harus mengepak barang-barangku dan pergi meninggalkan rumah tempat kelahiranku. Meninggalkan rumah kelahiranku juga berarti harus meninggalkan sahabat baikku.

Sekeras apapun aku membujuk kedua orang tuaku untuk tetap tinggal di rumah ini, semuanya sia-sia. Keputusan kedua orang tuaku sudah mutlak dan aku tidak bisa mengelak lagi.

Sejak saat itu, aku bukanlah orang yang dulu lagi. Aku yang sekarang terlalu tertutup dan terlalu malas untuk berkenalan dengan orang-orang. Aku merasa sudah terlalu nyaman dengan sahabat baikku, sehingga membuatku enggan untuk mencari orang baru dan suasana baru.

Aku yang sekarang bukanlah orang gila yang suka mencari masalah. Melainkan, hanyalah seorang gadis biasa yang hidup dalam dunia monokrom. Terlalu kusam, tanpa warna.


💘💘💘


Ini adalah hari kedua sejak aku menginjakkan kakiku di rumah ini. Semuanya masih sangat baru, bahkan tidak sedikit pun debu yang terlihat. Kamarku masih belum sepenuhnya rapi. Kardus-kardus berisi barang-barangku masih tergeletak di sana-sini, terlalu malas untuk dirapikan.  

Jujur saja, aku lebih menyukai rumahku yang baru ini. Kamar tidurku semakin luas, di-desain dengan konsep bohemian simple yang sangat sesuai dengan seleraku. Lantainya terbuat dari kayu, dengan dinding putih yang sudah siap untuk dipajang dengan berbagai bingkai fotoku.

Sebuah jendela besar terletak di depan meja belajarku, membuatku bisa melihat pemandangan kota yang menakjubkan dari tempatku belajar. Bisa-bisa jendela ini malah membuatku tidak fokus belajar karena terlalu asik memandangi pemandangan di luar sana. Tapi, jangan pernah lupakan hal yang paling aku sukai dari kamar baruku ini.  

Balkon.

Sepertinya kedua orang tuaku sangat menuruti permintaanku agar kamar di rumahku yang baru ini sesuai dengan seleraku. Tentu saja, setelah aku membujuk mereka lama dan juga dengan mengancam mereka bahwa aku tidak akan pindah dari tempat kelahiranku. Yah, walaupun begitu, aku masih menyesal kenapa aku mau-mau saja pindah kesini.

Karena aku merasa kesepian.

Melihat bingkai fotoku dengan sahabat baikku membuatku tambah kesepian lagi. Mengobrol lewat telpon atau video-call tidak se-seru bertemu langsung. Yang bisa aku lakukan sampai detik ini hanyalah bersedekap di meja belajarku, melihat pemandangan di luar sana dengan tatapan yang penuh kebosanan.

Somersault; pjmWhere stories live. Discover now