TWO

9.3K 1K 35
                                    

Seperti apa yang dikatakan Jungkook kemarin, aku tidak pergi ke sekolah dengannya. Melainkan, aku diantar oleh ayahku. Diantar oleh ayahku tentu saja beribu-ribu kali lipat lebih baik dari pada pergi bersama Jungkook.

Setelah perkataannya kemarin, aku menjadi enggan dekat-dekat dengannya. Memangnya ia kira aku ini akan seperti gadis permen karet yang akan selalu dekat-dekat dan mencari perhatiannya?

Setelah kejadian kemarin, aku ibaratkan Jungkook dan aku sebagai dua kutub utara. Jadi, apapun yang terjadi, aku akan berusaha mental dan tidak akan dekat dengannya. Dasar anak sombong. Siapa juga yang mau dekat-dekat?

Setelah berbincang-bincang dengan kepala sekolah perihal kedatanganku, lelaki paruh baya itu langsung mengantarkanku ke ruang kelasku. Selama mengikutinya dari belakang, jantungku tidak bisa berhenti berpacu. Aku penasaran dengan bagaimana rupa teman-teman kelasku.

Apakah mereka baik?

Atau sebaliknya aku akan menjadi korban bully?

Memikirkannya saja sudah membuat bulu kudukku merinding.

Kepala sekolah menghentikan langkahnya, membuatku refleks juga mengerem langkahku. Lelaki itu mengetuk sebuah pintu ruangan sebelum masuk, berbicara sebentar, kemudian mempersilahkan diriku untuk masuk.  

Kedua telapak tanganku rasanya sangat basah, dan kakiku terasa sangat lemas. Kenapa aku menjadi gugup seperti ini?  

Saat aku masuk, seluruh atensi langsung tertuju ke arahku. Suasananya sangat sunyi dan senyap, dan hal itu membuatku semakin gugup.

“Silahkan perkenalkan dirimu,” ujar guru yang sedang mengajar pada saat itu.  

“Perkenalkan, namaku Lee Harin. Aku mohon bantuannya,” ujarku lalu membungkukkan badanku.  

Suasana kelas masih sunyi senyap. Hal ini membuatku berpikir. Apakah aku membuat suatu kesalahan atau bagaimana?  

“Silahkan duduk di kursi yang tersedia,” ujar guru tersebut.  

Aku menganggukkan kepalaku dan kemudian mengedarkan seluruh pandanganku ke seisi kelas. Bagus, tersisa empat bangku di pojok paling belakang. Tanpa berpikir panjang lagi, aku langsung berjalan menuju bangku yang paling pojok, jauh dari jangkauan anak-anak kelas. Semua orang yang melihat kemana aku pergi berbisik-bisik entah apa. Hal itu membuatku merasa tidak enak, tapi aku tidak memedulikannya dan duduk di bangku pilihanku.  

Pelajaran pertama adalah sejarah. Aku hanya bisa mendenguskan napasku kesal. Aku benci pelajaran sejarah. Sangat sangat membosankan. Saat melihat bahwa guru di depanku sibuk menjelaskan sesuatu, aku menyelipkan earphone ke kedua telingaku, menyembunyikannya di balik rambut panjangku. Tanganku kemudian sibuk menggambar di buku catatanku.  

Aku terlalu sibuk di dalam duniaku. Terlalu larut ke dalam gambaran yang aku buat. Entah apa yang sedang dijelaskan oleh guru di depan, aku tidak peduli.  

Saat sedang asyik mengarsir gambarku, sebuah tangan tiba-tiba saja meremas gambarku. Membuatku membulatkan mataku terkejut takut-takut. Sial! Aku ketahuan!  

Namun, pada saat kepalaku beralih menatap si pemilik tangan, kedua bola mataku membulat semakin lebar. Dia bukanlah Lee Saem yang sedang mengajar sejarah saat ini. Melainkan tangan seorang lelaki yang aku asumsikan adalah teman sekelasku.  

Lelaki itu menatapku kesal, dengan rahangnya yang mengeras dan giginya yang digertakkan. Sedangkan aku menatapnya dengan tanda tanya.  Lelaki itu menarik dengan paksa kabel earphone yang aku gunakan, membuat telingaku terasa sakit karena tiba-tiba earphone-nya terlepas. Aku memberikan wajah kesalku juga padanya.  

Somersault; pjmحيث تعيش القصص. اكتشف الآن