FORTY FOUR

4.2K 610 163
                                    

LEE HARIN'S POV

"Aku akan berangkat ke Jepang besok."

Aku menganggukkan kepalaku. Aku sudah tahu itu. Dia sudah mengatakannya untuk ke-ratusan kalinya sesaat aku menginjakkan kakiku di rumah lelaki ini.

Aku bisa merasakan tangannya melingkari pundakku, kemudian jari-jarinya menyisiri rambutku dengan perlahan. Tanganku yang melingkar di pinggangnya semakin erat, dan kepalaku mencari tempat yang lebih nyaman dari sebelumnya di dadanya.

Bau maskulin khas lelaki itu menyeruak, mengisi seluruh indra penciumanku, dan sweater berbahan wol yang lelaki itu kenakan terasa sangat hangat dan lembut di kulitku, membuatku tambah nyaman memeluknya.

Salah satu tangan lelaki itu melingkar di pinggangku dan ujung dagunya bersandar di puncak kepalaku.

"Dan beberapa hari setelah aku ke Jepang, kau akan berangkat ke Gwangju," ujarnya lagi. Aku lagi-lagi menganggukkan kepalaku.

Aku sebenarnya tidak tahu kenapa tiba-tiba aku menerima tawaran Jin untuk menjadi kekasihku. Malam itu terjadi dengan begitu cepat. Rasanya aku baru saja berkedip, dan BOOM! Lelaki ini adalah kekasihku. Aku bahkan belum dapat mencerna situasinya dengan benar. Kepalaku hanya mengangguk perlahan dan sebuah senyuman tipis merekah di wajahku, selanjutnya aku bisa melihat Jin sangat senang dengan wajah memerahnya.

Jika kalian tanya kepadaku apakah aku menyesal, jawabannya adalah tidak. Jin adalah lelaki paling manis yang pernah aku temui.

Lagi pula aku sudah memikirkannya berkali-kali. Sejak pertemuanku dengan Sora waktu itu, aku semakin yakin bahwa Jimin sudah jauh dari jangkauanku. Sora benar-benar menyukai Jimin, dan aku tidak tega merebut lelaki itu darinya. Lagi pula mereka sudah bertunangan, dan banyak orang sudah mengetahui hal tersebut.

Kalian pikir apa yang akan media katakan jika aku merebut Jimin dari Sora? Sudah cukup aku menjadi tamu reguler di majalah gosip, aku tidak mau gosip itu menjadi semakin panas. Aku tidak mengerti dengan isi pikiran orang-orang yang membuat majalah gosip itu. Apakah mereka tidak mau bertemu denganku dan melakukan wawancara dengan benar? Karena apa yang mereka katakan di majalah mereka adalah sampah, semuanya omong kosong.

Malam setelah aku pulang dari restoran Perancis, setelah aku resmi menjadi kekasih Jin, aku hanya merebahkan diriku di kasur, tanpa berniat untuk menutup mataku. Aku hanya diam menatap langit-langit kamarku, dengan otakku yang mencerna apa saja yang barusan terjadi. Aku terus meyakinkan diriku bahwa aku telah membuat keputusan yang tepat.

"Aku akan meneleponmu setiap hari," ujar Jin dengan suara yang tidak terlalu jelas karena mulutnya sekalian mengecup-ngecup puncak kepalaku. "Dan aku akan sangat merindukanmu."

Aku diam saja. Tidak membalas perkataan Jin. Otakku terlalu kosong untuk membalas perkataannya.

"Kau bilang kau akan tinggal di hotel milikmu di Gwangju?" tanyanya. Aku menganggukkan kepalaku lagi. Aku sudah merencanakan perjalananku ke Gwangju matang-matang. Beruntung hotel milikku yang di Gwangju tempatnya dekat dengan tempat pembangunan bandara, jadi aku tidak perlu repot mencari tempat tinggal.

Aku akan tinggal di Gwangju hanya seminggu. Hanya untuk memastikan bahwa semuanya berjalan dengan lancar. Selanjutnya semua akan diurus oleh orang-orang yang aku tunjuk untuk melanjutkannya. Lagi pula aku tidak perlu lama-lama di sana karena bukan aku yang membuat bangunannya. Aku hanya perlu mengawasi beberapa hal saja. Mungkin beberapa saat ke depan aku akan kembali untuk mengawasi bangunan itu lagi.

Setelah Mingyu banyak berunding dengan sekretaris Jimin, mereka akhirnya memutuskan untuk membiarkan Jimin tinggal di hotelku saja. Lagi pula hotelku lebih dekat dengan tempat pembangunannya dan lebih gampang untuk bertemu jika saja akan melakukan rapat mendadak.

Somersault; pjmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang