FIFTY

4K 649 405
                                    

"Cepat bangun, Jim. Kau membuatku takut," ujarku kepada lelaki yang terbaring lemah di depanku. Tanganku memainkan tangan Jimin dengan lembut.

"Apa kau tidak lelah tidur? Cepat bangun."

Entah sudah berapa lama Jimin tidur, aku sudah tidak bisa menghitungnya lagi. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas dan aku masih terjaga. Mungkin gara-gara aku tertidur saat Jimin sedang dioperasi tadi, aku jadinya tidak mengantuk lagi. Apalagi ditambah dengan asupan kafein yang aku dapatkan dari Taehyung.

Bibirku mengecup punggung tangan Jimin perlahan, sembari memain-mainkannya dengan jari-jariku. Aku sudah ingin mati kebosanan rasanya. Aku sudah menelepon Hoseok tadi, dan aku mengatakan padanya bahwa Jimin sudah baik-baik saja, dan lelaki itu menyuruhku untuk meneleponnya lagi jika Jimin sudah terbangun. Hoseok mengatakan bahwa ia tidak bisa datang untuk menjenguk karena ia sedang dihadapi dengan banyak pekerjaan karena absennya Jimin, tapi aku tahu sebenarnya Hoseok sedang memberiku waktu dengan Jimin.

"Kenapa kau harus tertidur seperti ini, sih? Masalah kita belum selesai, Jimin, dan aku ingin menyelesaikannya. Aku sudah putus dengan Kim Seokjin secara baik-baik, dan aku bahkan berlari kesini untuk menemuimu. Tapi kenapa kau masih belum bangun? Cepat bangun, lelaki sialan."

Aku menghela napasku saat Jimin tidak merespon sama sekali. Kepalaku kemudian menyender di pinggir ranjang dengan tanganku yang masih menangkup tangan Jimin. Aku sudah lelah menunggu.

"Kenapa kau selalu membuatku seperti ini, Park Jimin? Kenapa kau selalu ada di pikiranku sampai aku tidak bisa tidur setiap malam? Kenapa kau selalu ada di dalam otakku walaupun aku sudah mencoba untuk melupakanmu? Kau itu sangat kejam, Park Jimin."

Setelah beberapa saat, aku mulai menutup mataku. Namun, gerakan kecil yang aku rasakan langsung membuatku terbelalak dan segera menegapkan badanku. Jimin baru saja menggerakkan jari-jarinya.

"Jimin? Kau sudah bangun?" tanyaku antusias.

Jimin hanya merespon dengan matanya yang mulai bergerak untuk terbuka. Lelaki itu membukanya dengan sangat perlahan, menyesuaikan matanya dengan banyaknya cahaya yang masuk setelah sekian lama tertidur. Aku memerhatikan lelaki itu dengan seksama.

Setelah beberapa saat, Jimin membuka matanya secara sempurna. Aku tersenyum lebar ke arahnya.

"Tunggu sebentar, aku akan memanggil dokter," ujarku kepadanya. Tapi sebelum aku bisa berbalik, tangan Jimin yang tidak terluka langsung menahan tanganku. Aku menatapnya dengan penuh tanda tanya dan lelaki itu hanya menatapku datar.

"Kau siapa?" tanyanya dengan suara seraknya, yang seketika langsung membuat diriku membeku di tempatku. Aku sama sekali tidak bisa bergerak dan aku bisa merasakan ribuan jarum rasanya menghujami hatiku.

Bagaimana ini? Apa Jimin benar-benar tidak bisa mengingatku? Apa benturan di kepalanya terlalu keras sehingga ia terkena amnesia? Bagaimana jika tiba-tiba ia tidak suka denganku? Memikirkannya saja, aku sudah bisa merasakan tenggorokanku tercekat lagi. Tidak. Aku tidak ingin menangis. Aku sudah lelah.

Jimin masih menatapku dengan tatapan bingung namun dingin dalam waktu yang bersamaan. Seketika lidahku terasa kelu, tidak tahu harus menjawab apa.

"K-Kau ... benar-benar tidak mengingatku?" tanyaku pelan, terdengar seperti lirihan. Aku sangat panik dan cemas saat ini. Air mata mulai mengepul di pelupuk mataku.

Jimin tidak merespon apapun selama beberapa saat, masih dengan tatapan dinginnya, hal ini membuatku semakin takut. Tapi wajah dinginnya langsung berubah menjadi senyuman yang sangat lebar lalu diikuti dengan tawaan yang sangat keras. Aku hanya terbengong di tempatku, mencoba untuk memproses apa yang sedang terjadi.

Somersault; pjmحيث تعيش القصص. اكتشف الآن