TWENTY FOUR

4.2K 660 114
                                    

Aku membuka mataku secara perlahan. Cahaya matahari yang keluar dari celah jendela membangunkan diriku dari tidur nyenyakku.

Hal pertama yang aku lihat saat aku membuka mataku adalah Park Jimin yang sedang tersenyum hingga matanya menyipit. Lelaki itu sudah bangun ternyata.

"Hey ...," bisiknya. "Selamat pagi."

Aku tersenyum mendengarnya. Bagaimana aku bisa terbangun dan langsung melihat pahatan Tuhan ini sambil mendengar suara bisikkan khas pagi harinya terasa sangat tidak nyata. Rambut lelaki itu berantakan sehabis tidur, pipinya agak mengembung, dan sungguh, lelaki ini terlihat sangat menggemaskan.

Jimin mengangkat tangannya kemudian mengelus wajahku sambil merapikan rambutku yang berantakan. Kedua sudut bibirku terangkat merasakan tangan halus lelaki itu yang menyentuh wajahku.

Bagaimana kami bisa tidur berdua? Jawabannya simpel. Jimin tidak mau lepas dariku. Lagi pula aku tidak bisa menolak dan, siapa juga yang mau menolak?

Aku tertidur di kamar Jimin yang terletak di lantai satu. Kemarin malam aku terlalu malas untuk naik ke lantai dua menuju kamarku jadi pada akhirnya aku tidur bersama Jimin di kamarnya. Aku juga meminjam baju Jimin.

Tidak. Kami tidak melakukan apapun. Jimin sangat menghargaiku. Ia tidak berencana untuk mengintipku saat berganti baju dan setelah kami selesai berpakaian, hal yang kami lakukan adalah berbaring di kasur sambil berpelukan lalu tidur. Tidak ada apapun selain itu. Jadi buanglah dengan jauh pikiran kotor kalian.

Aku menyembunyikan wajahku di balik selimut dan bantal, membuat Jimin mengernyit.

"Kenapa?" tanyanya.

"Aku terlihat sangat buruk saat bangun tidur. Kenapa kau masih terliht tampan? Ini tidak adil!"

Jimin tertawa mendengar ucapanku. Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepalanya lalu menarik selimutnya agar terlepas dariku. Dengan tangannya, Jimin menangkup pipiku dan mencium bibirku sekilas. Dilanjutkan dengan pipi, hidung, kedua mataku, dan kening.

"Siapa bilang kau terlihat buruk. Kau terlihat sangat cantik, Lee Harin."

Aku bisa merasakan pipiku memerah mendengar ucapan Jimin. Benar-benar merah, bahkan rasanya lebih merah dari pada buah tomat. Aku kemudian memukul lengan Jimin. "Jangan menggombal. Ini masih pagi."

Jimin lagi-lagi tertawa mendengar ucapanku. "Ini bukan gombalan. Tapi aku hanya mengucapkan fakta."

"Aish," desisku karena bisa merasakan kedua pipiku terasa panas, namun kedua tulang pipiku rasanya tidak mau turun dan menampilkan senyuman maluku padanya. Melihat reaksiku, Jimin lagi-lagi tertawa. Sungguh, ia terlihat menyebalkan saat menertawakanku, dan aku hanya bisa memukul lengannya kesal.

Tiba-tiba saja, pintu kamar Jimin terbuka dengan sangat lebar dan menimbulkan suara yang cukup kencang hingga membuat kami tersentak.

"PARK JIMIN! LEE HARIN Hila—" Hana menghentikan ucapannya saat melihat kami berdua tidur di kasur. Kedua bola matanya membulat lebar, dan mulutnya terbuka karena terkejut.

"K-Kalian—" Hana tidak melanjutkan ucapannya. Wanita itu melihat ke arah tubuhku dan aku menggunakan baju kaos milik Jimin. Seakan tersadar, aku juga ikut membulatkan mataku.

"Eo-Eonni, ini tidak seperti apa yang kau bayangkan!"

Wajah Hana bersemu merah. "K-Kalian-aku tunggu kalian di meja makan." Setelah itu pintu tertutup dan Hana menghilang.

Aku menolehkan kepalaku ke arah Jimin dan menemukan lelaki itu hanya memberikanku seringaian nakalnya. Aku segera bangkit dari tempat tidurku dan menatap lelaki itu dengan tajam.

Somersault; pjmOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz