THIRTY EIGHT

3.9K 708 359
                                    

"Halo? Siapa ini?"

"Bagaimana ide dari perusahaanku, Lee Harin-ssi?"

Aku membeku di tempatku mendengar suara itu. Tanganku meremas dengan erat telpon genggamku, dan mataku membulat sempurna.

"Halo? Apa kau masih di sana?" tanyanya dari seberang telpon.

Aku berdeham pelan, mencoba untuk bersikap bahwa aku baik-baik saja saat aku terkejut mendengar suaranya dari seberang telepon. "Maaf, tapi kau belum menjawab pertanyaanku. Kau siapa?" tanyaku. Aku sebenarnya tahu, tapi aku hanya memastikan bahwa aku tidak salah dengar dan salah mengira siapa yang menelponku di jam yang tidak bersahabat ini.

"Aku kira kau sudah mengetahuiku dari suaraku saja," ujarnya dari seberang sana, dan ia terlihat sangat enteng mengatakan hal itu, tidak peduli efek apa yang lelaki itu berikan kepadaku.

"Aku hanya ingin memastikan siapa yang menelponku di jam ini. Bukankah tidak sopan bagi seseorang menelpon malam-malam begini hanya untuk membahas bisnis? Terutama dari perusahaan yang tidak aku kenal dengan baik orang-orangnya," ucapku dengan nada yang terkesan sedikit sinis.

"Maaf jika aku lancang. Tapi aku hanya memastikan bahwa orang yang aku kirimkan tadi menyampaikan presentasinya dengan baik. Lagi pula waktu adalah yang terpenting dalam bisnis, kau bisa menghasilkan uang tidak peduli jam berapa itu. Yang aku inginkan saat ini hanyalah kepastian apakah kau setuju dengan ideku untuk pembangunan bandara besok."

"Aku tahu kau menelponku bukan untuk membahas ini, Tuan Park," desisku kesal sambil menekankan nama lelaki itu. Ingin rasanya kucabik orang ini karena telah mengganggu kencanku dengan Seokjin. "Kalau kau ingin membahas bisnis, kau bisa mengirim email atau memberi notis kepada sekretarisku, bukan menelponku jam segini dan mengganggu kegiatanku."

Aku bisa mendengar Jimin tertawa kecil di seberang sana, dan perasaanku yang ingin mencakar wajahnya bertambah besar.

"Bagaimana kalau aku menelpon memang hanya untuk mengetahui perkembangan idenya?" Oh, dia sedang bermain tarik-ulur rupanya.

"Aku akan mengirim email sesegera mungkin jika itu yang kau inginkan. Aku akan menutup teleponnya. Selamat ma—"

"TUNGGU!" seru Jimin dari seberang sana, membuatku menghentikan pergerakanku.

"Apa yang kau inginkan lagi, Tuan Park?"

"Kau dimana?" tanyanya tiba-tiba. Sudah kuduga lelaki ini meneleponku bukan semata-mata hanya untuk membahas bisnis.

"Aku ada dimana dan bersama siapa bukan urusanmu, Tuan Park. Kita hanya rekan bisnis dan tidak lebih dari itu. Kuharap kau ingat dengan batasanmu, Tuan Park."

"Berhenti," ucapnya, membuatku mengerutkan keningku bingung. "Berhenti panggil aku Tuan Park. Aku tidak menyukainya. Kita tidak sedang berada di jam kerja."

Aku berdecak mendengar perkataan lelaki itu. "Ya, kita tidak sedang berada di dalam jam kerja—kata orang yang baru saja menyuruhku untuk mengirim email tentang persetujuan ide proyeknya," ujarku dengan nada sarkastik.

"Baiklah. Tidak usah kirim email. Lagi pula kita akan bertemu untuk membahas hal ini lebih jauh lagi."

Aku mendenguskan napasku. Sebenarnya apa yang diinginkan lelaki ini?

"Aku bertanya sekali lagi. Kau dimana?"

"Aku akan mengulanginya sekali lagi. Aku ada dimana dan bersama siapa bukan urusanmu!"

"Apa kau bersama seseorang? Kau sedari tadi membahas tentang kau bersama siapa."

"Aku bilang itu bukan urusanmu!" seruku kesal. Ya Tuhan. Padahal aku bisa saja menekan tombol merah untuk mengakhiri percakapan ini, tapi entah kenapa tidak aku lakukan dari tadi.

Somersault; pjmWhere stories live. Discover now