TWENTY

4.6K 732 49
                                    

Aku memeluk pinggang Jimin lebih erat, mencoba untuk mencari kehangatan yang tidak mungkin aku dapatkan. Percuma saja, baju sekolahku berlengan pendek dan Jimin melajukan sepeda motornya lumayan kencang.

Aku tidak tahu Jimin membawaku kemana, yang jelas bukan rumahku. Aku bahkan tidak bisa protes, tidak dengan Jimin yang kali ini sedang marah besar. Yang hanya bisa kulakukan hanyalah menurutinya.

Matahari sudah mulai terbenam dan semburat berwarna oranye kemerahan menghiasi atmosfir. Kedua orang tuaku sudah tahu hubunganku dengan Jimin dan mereka tidak masalah membiarkanku bersama lelaki itu hingga malam, asalkan tidak terlalu larut saja dan aku kembali ke rumah tanpa membawa bayi di perutku. Orang tuaku sangat mempercayai Jimin dan Jimin sendiri punya taktiknya sendiri untuk meluluhkan hati kedua orang tuaku.

Sebenarnya ibuku sangat ingin aku memiliki pacar. Dia memang sangat terbuka akan hal itu. Ia bilang aku seharusnya mencari pengalaman cinta semasa SMA sebelum aku akan terikat selamanya dengan seorang lelaki setelah SMA. Ibuku bilang menikah tidak akan se-bebas berpacaran.

Berbeda dengan ibuku, ayahku malah melarangku untuk berpacaran, awalnya. Mungkin karena aku adalah satu-satunya anak mereka dan aku adalah anak perempuan yang suatu saat nanti akan diambil oleh orang lain. Ayahku seperti tidak rela jika ada lelaki lain yang menyandinginya. Tapi suatu hari, entah apa yang dibicarakan Jimin dan ayahku di taman belakang rumahku, mereka terlihat baik-baik saja dan ayahku tidak masalah aku berpacaran dengan Jimin.

Sudah seperti apa yang aku katakan, Jimin punya karismanya sendiri untuk menarik perhatian orang lain. Terkadang aku iri dengan hal itu.

Jimin gampang sekali meluluhkan hati orang lain, termasuk aku. Aku yang terkenal cuek dan masa bodoh ini akhirnya sedikit demi sedikit membuka hatiku untuknya. Walaupun terkadang aku masih ragu melakukannya.

Jimin menghentikan motornya dan memarkirkannya. Aku segera turun, dan memerhatikan sekitarku. Kami berada di sungai Han, dan di sini sudah ada lumayan banyak orang yang sekedar berjalan-jalan atau berolahraga.

Aku melepaskan helmku dan memberikannya pada Jimin. Aku menunggui lelaki itu bersiap-siap, seperti mematikan motor dan mengunci helmnya, serta merapikan rambutnya. Aku tidak terlalu memerhatikan Jimin karena pandanganku sibuk melihat sekitarku.

Ini bukan pertama kalinya aku kesini, tapi aku sangat menyukai tempat ini seakan-akan aku belum pernah kesini sebelumnya.

Aku bisa melihat berbagai macam orang sedang berinteraksi dan kapal-kapal yang berlayar entah kemana. Jangan juga lupakan burung-burung yang terbang bebas di langit, membuatku terkesima. Untuk orang yang jarang menginjakkan kakinya di luar rumah sepertiku tentu saja semua hal ini terlihat menakjubkan bagiku.

Aku langsung kembali ke kesadaranku saat aku bisa merasakan sesuatu yang berat membungkus pundakku. Aku langsung melihat ke arah pundakku dan menemukan jaket kulit Jimin yang membungkus tubuhku.

"Bukankah sudah pernah kubilang untuk terus membawa jaket bersamamu?" dengus Jimin dan aku hanya memberikannya senyuman tipisku. Jimin menyisir rambutnya ke belakang kemudian menarik tanganku dan menggenggamnya.

"Kemana kita akan pergi?" tanyaku sambil mengikuti kemana pun ia akan membawaku.

"Naik sepeda," jawabnya.

Aku menghentikan langkahku dan keningku langsung mengerut, membuat Jimin terhenti dan melihat ke arahku. "Kenapa?" tanyanya.

"Aku memakai rok, Park Jimin." Apa Jimin gila? Bagaimana kalau rokku tersingkap dan memperlihatkan celana dalamku. Apalagi rok sekolah kami bisa dibilang tidak cukup panjang.

Jimin menghela napasnya. "Aku tahu. Dan aku tidak pernah menyuruhmu untuk mengayuh sepeda." Jimin kembali menarik tanganku, dan lelaki itu membawaku ke tempat penyewaan sepeda.

Somersault; pjmDonde viven las historias. Descúbrelo ahora