FOURTEEN

6K 796 37
                                    

Jimin tidak pernah gagal membuatku terkesan akan tingkahnya. Ia adalah seorang gentleman, bisa kubilang. Lelaki itu tidak pernah absen menjemputku sebelum pergi ke sekolah, mengantarku pulang, atau terkadang ia akan membawaku pergi jalan-jalan dan mentraktirku makan. Bahkan ibuku sampai hafal kapan saja Jimin akan datang, dan ia tidak pernah menanyai lagi kenapa terkadang aku terlambat pulang dari sekolah. Untungnya ibuku orangnya terbuka, dan ia tidak memiliki masalah saat aku menjalin hubungan dengan seorang lelaki, dan ia percaya padaku kalau aku tidak akan melakukan hal-hal yang ada di luar batas.  

Di bulan ketiga kami menjalin hubungan, Jimin masih tidak berubah. Ia akan tetap mengeluarkan senyuman lebarnya kepadaku, menautkan jari-jarinya denganku bila ada kesempatan, bahkan sekarang sudah masuk ke dalam tingkatan yang berbeda. Tidak hanya sekedar skinship berpegangan, melainkan lelaki itu mulai mencuri kecupan kecil saat ia dapat kesempatan.  

Bukannya aku tidak suka diperlakukan seperti itu, hanya saja jantungku masih belum sepenuhnya terbiasa. Setiap kali Jimin menyentuhkan bibirnya di pipi atau keningku sekilas, aku bisa merasakan jantungku rasanya ingin copot dan seketika pipiku mengeluarkan berbagai macam semburat berwarna merah.  

Jimin tidak baik untuk kesehatan jantungku, dan aku harus camkan hal itu baik-baik.  

“Ada film yang sangat ingin aku tonton tayang hari ini. Kau tidak sibuk, kan?” tanya Jimin sambil berbisik. Lelaki itu meletakkan salah satu sikunya di meja, kemudian menopang kepalanya menggunakan tangannya. Dengan posisi seperti itu, Jimin hanya bisa melihat satu sisi wajahku saja.  

“Apa kau tidak lihat? Aku sedang belajar. Kau juga harus belajar, Jim,” ujarku sambil menyatat hal-hal penting yang kiranya perlu.  

Waktu menunjukkan pukul enam sore dan kami berdua masih di dalam perpustakaan. Mengingat kami berdua sudah ada tingkat terakhir SMA, aku harus mengorbankan banyak waktuku untuk belajar, dan sebuah kesalahan besar bagiku untuk menyeret Jimin untuk belajar bersamaku. Lelaki ini bahkan tidak butuh belajar, karena ia sudah cukup pintar untuk menjawab soal-soal yang tidak bisa kujawab. Aku jadi penasaran. Kapan saja ia belajar sampai-sampai ia bisa se-pintar ini? Jujur saja, aku iri padanya.  

Ini sudah jam kedua kami berdua ada di perpustakaan dan aku tidak pernah melihat Jimin benar-benar serius belajar. Di satu saat aku melihatnya tiduran dengan menyenderkan kepalanya di atas meja, lalu terkadang ia akan bermain di ponselnya, bahkan saking bosannya, Jimin terus mencolekku dan mengajakku ngobrol, walaupun ia tahu aku akan menjadi murka dan malah mendorongnya menjauh.  

Jimin memajukkan bibirnya beberapa senti seperti anak kecil, tampak kesal dengan penolakanku. Merasa diabaikan, lelaki itu kemudian mendekatkan badannya dengan badanku, tangannya lalu dilingkarkan di pinggangku dari samping dan aku bisa merasakan Jimin lagi-lagi mengecup pipiku. Ia menyenderkan kepalanya di bahuku, membuatku bisa merasakan terpaan angin hangat keluar dari hidungnya.  

“Aku hanya ingin berjalan-jalan dan menghabiskan waktu bersama denganmu. Kau sudah mengabaikanku terlalu lama, Rin.” Bisikan Jimin yang berada tepat di telingaku membuat bulu kudukku merinding. Tidak terasa aku meremas kuat pulpen yang ada di tanganku, dan punggungku semakin menegang. Oh, Ya Tuhan. Bantu lepaskan aku dari anak ini!  

Aku meletakkan pulpenku di atas meja dan menutup bukuku. Ya sudahlah, kalau Jimin mulai merengek seperti ini, mana bisa aku fokus belajar. Aku menolehkan kepalaku ke samping, membuat wajah kami hampir bersentuhan karena jaraknya yang terlalu dekat. Aku bisa melihat Jimin mengeluarkan senyuman lebar khasnya, membuat kedua matanya menyipit dan kerutan-kerutan halus muncul di sudut matanya.  

Somersault; pjmWhere stories live. Discover now