SIXTEEN

5.2K 704 20
                                    

PARK JIMIN’S POV  

“Kurasa cukup sampai di sini saja untuk hari ini. Aku sudah sangat lelah,” ujar Jihoon sambil meregangkan badannya yang kaku karena sudah duduk di kursi perpustakaan berjam-jam. Lelaki berambut cokelat terang itu menguap pelan, jelas sekali memperagakan bahwa ia sedang lelah.  

Aku menghela napasku dan menyimpan pekerjaan yang ada di laptopku. “Bagaimana kalau kita melanjutkan ini hari Senin saja?” usulku.  

Jihoon mengeluarkan senyumannya dan mengangguk setuju. “Aku juga tidak mau hari mingguku terbebani dengan tugas,” ujar Jihoon.  

“Baiklah kalau begitu. Hari Senin, pulang sekolah.”  

Jihoon bergumam setuju lagi sekali sebelum merapikan barang-barangnya. Setelah selesai memasukkan semua barangnya ke dalam tas, Jihoon tersenyum kecil ke arahku. “Aku pulang duluan ya,” ujar lelaki itu, tasnya sudah disampirkan di bahunya.  

“Baiklah. Hati-hati di jalan,” ujarku dan setelah itu Jihoon menghilang di balik pintu perpustakaan.  

Aku menghela napasku kasar. Badanku aku hempaskan di kursi, beristirahat sebentar. Tugas yang diberikan Kang Saem cukup banyak dan menurutku mengerjakannya berdua hanya dengan sekali duduk tidak cukup.  

Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam dan aku tidak tahu sudah berapa lama tepatnya aku dan Jihoon diam di sini dan mengerjakan tugas ini. Diam di sini selama berjam-jam juga berarti aku telah menelantarkan Harin berjam-jam. Aku yang biasanya mengiriminya pesan setiap satu jam sekali sekarang lupa karena terlalu sibuk dengan tugas ini. Tapi aku yakin Harin juga pasti sibuk mengerjakan tugasnya dengan Taehyung.  

Ah ... Sebenarnya memikirkan Harin membuat tugas hanya berdua dengan Taehyung membuatku gelisah. Aku tahu Taehyung bukan lelaki brengsek, dia tidak se-brengsek Jungkook setidaknya. Tapi memikirkan gadisku hanya berdua dengan lelaki lain entah kenapa membuatku menjadi tidak nyaman seperti ini. Aku bahkan lupa menanyakan dimana gadis itu mengerjakan tugasnya.  

Aku kemudian mengambil ponselku dari saku celanaku. Aku menghela napasku saat tidak ada pesan dari Harin. Oh, tentu saja. Harin mana mungkin mengirimiku pesan duluan. Aku yang selalu mengirim duluan biasanya.  

Tidak mau diam berlama-lama di ruangan penuh dengan orang-orang belajar ini, aku segera merapikan barang-barangku dan segera meninggalkan perpustakaan. Tepat saat aku melangkahkan kakiku keluar ruangan, angin malam langsung menyambutku. Aku bahkan tidak sadar aku sudah diam di dalam ruangan sesak itu berjam-jam dan sekarang baru bisa merasakan kelegaan yang luar biasa setelah menghirup udara malam yang menyejukkan.  

Aku melangkahkan kakiku, mulai meninggalkan areal sekolah. Suasana di sekolah sangat sepi, tentu saja. Lagi pula siapa yang mau berkeliaran malam-malam begini di sekolah? Mereka pasti lebih memilih menghabiskan waktu mereka di perpustakaan untuk belajar atau di ruang belajar khusus untuk jam malam.  Sambil berjalan, aku menekan kontak Harin di ponselku, menelpon gadis itu. Dengan segera aku menempelkan benda persegi itu di telingaku dan menunggu gadis itu mengangkatnya.  

Setelah nada dering ke-lima, deringan mulai berhenti, dan digantikan oleh suara yang membuat kedua tulang pipiku otomatis naik.  

Halo …”  

Hey baby,”

 “Ada apa Jim?”  

“Aku hanya ingin mendengar suaramu, apa tidak boleh?”  

“Tidak,” ujar Harin dengan nada yang ketus, membuatku terkekeh kecil. Gadis ini selalu bersikap seperti itu, padahal aku tahu pipinya bahkan lebih merah dari pada bunga mawar.  

Somersault; pjmWhere stories live. Discover now