THIRTEEN

6.1K 827 97
                                    

Perutku rasanya sudah ingin meledak saja. Setelah makan, Jimin kembali memesan makanan penutup yang sama sekali tidak bisa aku tolak dan sekarang perutku sudah sangat kenyang. Jimin tidak pernah melepas senyumannya walaupun kami sedang makan, tapi aku mencoba untuk tidak memedulikannya walaupun ingin rasanya aku menegur lelaki itu karena menatapku dengan senyuman seperti itu. Untuk sehari ini saja, aku biarkan saja dia, dan aku tidak akan merusak kebahagiaan lelaki itu.  

“Bagaimana makanannya? Kau suka?” tanya Jimin saat kami berjalan menuju motor lelaki itu.  

Aku menganggukkan kepalaku antusias. “Ya. Kau benar-benar memilih restoran yang bagus,” ujarku.  

“Untunglah. Aku sangat takut kalau kau tidak menyukainya.”  

“Lain kali kita harus kesini lagi. Aku suka di sini,” ujarku, namun beberapa saat kemudian membulatkan mataku terkejut saat menyadari apa yang barusan aku bilang. Melihat dari seringaian yang dikeluarkan Jimin, aku malah tambah malu.  

“Berarti kau mengekspetasikan kencan selanjutnya, hm?” tanya Jimin, menggodaku.  

Pipiku sudah memerah. “B-Bukan begitu!”  

Jimin terkekeh kecil kemudian mencubit pipiku gemas. “Tidak masalah. Aku akan membawamu kesini lagi dengan senang hati. Aku juga tidak akan keberatan membawamu ke beberapa restoran favoritku yang aku rekomendasikan khusus untukmu.”  

Saat kami sudah sampai di motor, Jimin langsung memberikan helmnya padaku. Kami berdua naik ke atas motor dan tanganku sudah otomatis melingkar di pinggang lelaki itu. Ngomong-ngomong, jaket Jimin masih aku gunakan. Lelaki itu bersikeras untuk menyuruhku memakai jaketnya, dan lelaki itu hanya tertinggal menggunakan kaus berwarna putih, membuatku bisa mencium aroma tubuh lelaki itu lebih dalam.  

“Pegangan yang erat dan jangan tertidur. Aku tidak mau kau tertidur dan jatuh di jalanan,” peringat Jimin lagi.  

“Iya, iya. Jalankan saja motornya.”  

Menuruti perintahku, Jimin mulai melajukan kendaraan kesayangannya. Aku tidak mengerti kenapa Jimin suka menggunakan motor besar dan berat seperti ini padahal aku yakin sekali lelaki ini bisa mengendarai mobil yang lebih nyaman karena aku tidak akan perlu menggigil seperti ini walaupun sudah menggunakan jaket denim milik Jimin. Tidak terbayang bagaimana Jimin bisa bertahan hanya menggunakan satu helai pakaian yang menutupi tubuh bagian atasnya. Sebagian dari diriku merasa bersalah karena tidak berpikir untuk membawa jaket, tapi mau bagaimana lagi? Jimin terus memaksaku untuk menggunakan miliknya.  

Jimin mengendarai kendaraannya dengan kelajuan yang sedang. Setidaknya dalam kecepatan seperti ini aku bisa mengontrol jantungku agar tidak bekerja ekstra karena takut dengan kecepatan tinggi.  

Fokusku sekarang bukan lagi ke pemandangan kota yang melintas. Memang, malam-malam begini semuanya terlihat cantik dengan kerlap-kerlip yang masih belum familiar untukku karena belum lama sejak aku pindah ke kota ini. Malahan, semua fokusku teralihkan ke lelaki yang mengendarai sepeda motor ini dengan santai.  

Dengan memeluk Jimin seperti ini, aku bisa menghirup aroma lelaki itu sepuasnya dan aku bisa merasakan otot-otot lelaki itu yang terbentuk. Aku biasanya memeluk Jimin saat lelaki itu menggunakan jaket kulit atau denimnya, namun karena lelaki itu hanya menggunakan kaus biasa saat ini, aku bisa merasakan dengan jelas otot perut lelaki itu yang sekiranya terbentuk, dari apa yang bisa aku rasakan saat ini. Hormonku pasti sedang gila saat ini sampai-sampai otakku mulai mem-fantasikan hal-hal yang tidak waras saat bersama Jimin. Tidak terasa pipiku memerah.  

Setelah bermenit-menit berkendara, Jimin akhirnya menghentikan motornya di tempat yang gelap dan cukup terisolasi, membuatku mulai waspada dengan kemana ia akan membawaku. Jimin tidak akan melakukan hal yang aneh-aneh, ‘kan? Ia tidak akan memperkosaku dan membuang mayatku ke sungai nantinya, ‘kan?  

Somersault; pjmWhere stories live. Discover now