TEN

5.8K 860 94
                                    

Demi naga air yang bertelur di sarang burung! Aku telat ke sekolah! Sial, sial, sial! Bagaimana ini? Hal paling terakhir yang aku inginkan selama hayat hidupku adalah bangun tidur dengan rambut seperti sarang burung. Aku tidak sadar bahwa aku menghabiskan waktuku selama hampir tiga puluh menit hanya untuk menyisir rambutku yang benar-benar kusut. Sungguh, aku tidak mengerti kenapa hari ini tiba-tiba rambutku menjadi se-kusut hari ini.  

Sialnya lagi, ayahku sudah berangkat ke kantor dan dengan sangat-sangat terpaksa aku harus ke sekolah naik bis. Jimin, seperti apa yang telah aku duga, tidak menjemputku. Lelaki itu benar-benar menjaga jarak denganku. Untuk sesaat aku merasa sangat menyesal kenapa kemarin aku bersikap begitu kejam kepadanya.  

Aku membuka pintu kelasku dengan takut-takut. Bibir bagian bawahku aku gigit dengan kuat, tanganku bergetar dan jantungku berpacu dengan cepat. Aku sudah yakin sekali bahwa hari ini aku akan terkena detensi.  

Setelah menghela napasku dengan panjang, aku memberanikan diri untuk membuka pintu kelas dengan lebar. Semua pandangan terarah ke arahku, dan aku yakin sekali rasanya seperti ada batu yang mengganjal di tenggorokanku sehingga aku tidak bisa menelan salivaku.  

“Nona Lee Harin?” ujar guru yang sedang mengajar saat ini. “Detensi, pulang sekolah.”  

Bagus. Aku bahkan belum bersekolah di sini selama sebulan lamanya dan ini sudah kedua kalinya aku mendapatkan detensi. Aku membungkukkan badanku hormat ke arah Hwang saem lalu melangkahkan kakiku menuju bangkuku.  

Aku menundukkan kepalaku selama perjalanan ke bangku, dan aku yakin sekali Park Jimin tengah menatapku dengan mata elangnya. Aku tidak berani menatap balik lelaki itu. Aku tidak sanggup menatapnya setelah apa yang terjadi kemarin.  

Sesaat aku mendudukkan diriku di bangkuku, aku bisa mendengar Hwang saem kembali bersuara. “Semuanya, kumpulkan tugas kalian.”  

Dengan segera aku membuka tasku, mencari dua lembar kertas yang berisi tugas essay dari Hwang Saem. Mataku membulat sempurna saat aku tidak bisa merasakan kertas essay tersebut di dalam tasku. Padahal aku sudah yakin sekali aku sudah membuatnya. Bagaimana ini? Mampuslah aku. Aku membutuhkan dua malam untuk mengerjakan essay tersebut.  

Aku terus mengobrak-abrik isi tasku, mengeluarkan sebagian isinya, tetapi aku sama sekali tidak bisa menemukannya.  

Tiba-tiba sebuah tangan meletakkan lembaran kertas di atas mejaku. Aku melihat siapa itu, dan ternyata itu Jimin. Lelaki itu menganggukkan kepalanya dan aku yakin sekali aku bisa melihat Jimin menggantikan nama di tugasnya dengan namaku.  

Aku membuka mulutku ingin protes, tapi segera ia potong, “Kumpulkan saja.”  

“Tapi ….”  

“Aku bilang kumpulkan,” ujar Jimin tegas.

Aku menatap lelaki itu ragu, tapi ia sangat yakin. Aku menjadi tidak enak kepada Jimin. Pupilku bergetar, dan semua orang tampaknya sedang menunggu kami untuk mengumpulkan tugas. Jimin menganggukkan kepalanya, dan aku tidak bisa menolak lagi. Jika kami diam lebih lama lagi, semua orang akan curiga.

Aku segera berdiri dan melangkahkan kakiku untuk mengumpulkan tugas. Saat aku kembali menuju bangkuku, aku hanya bisa melihat Jimin yang duduk dengan santai di bangkunya sambil tersenyum tipis.  

“Park Jimin? Mana tugasmu?” tanya Hwang Saem, membuat semua arah pandang menuju Jimin.  

“Aku lupa membuatnya Saem,” jawab Jimin enteng. Entah kenapa aku menjadi tambah tidak enak.  Hwang Saem menghela napasnya.

“Pulang sekolah, detensi.”  

“Siap!” seru Jimin kemudian menyeringai.

💘💘💘

Somersault; pjmWhere stories live. Discover now