TWENTY NINE

3.9K 672 202
                                    

"Tolong berikan aku segelas bir."

"Bir? Yang benar saja. Bukan dirimu sekali."

Aku mendenguskan napasku kemudian menyandarkan kepalaku pada meja bar. "Aku hanya tidak mau mabuk. Besok hari yang penting," ujarku.

"Kalau kau tidak mau mabuk, seharusnya kau tidak kesini, nona."

"Diam saja kau."

Lelaki itu terkekeh kecil mendengar dengusanku sebelum ia memesan tequila kesukaannya kepada bartender. Kami berdua duduk dalam diam, menikmati alunan musik jazz yang mengalun dengan tenang. Kami bertemu di bar ini lumayan sering, minum untuk menghilangan kepenatan dan beberapa saat kemudian lelaki di sebelahku ini menghilang dengan gadis entah ia dapat dari mana. Ini seperti rutinitas, dan aku tidak pernah protes jika saja lelaki ini tiba-tiba saja raib entah kemana.

"Ini birnya, dan tequila untukmu," ujar sang bartender sambil meletakkan dua gelas dengan ukuran yang berbeda di depan kami.

"Terima kasih," ucapku pelan sebelum meneguk birku hingga habis.

"Wow, wow. Pelan-pelan, nona. Aku yakin kau akan mabuk hanya dengan minum bir."

"Aku tidak akan mabuk hanya dengan minum bir, Jeon."

Jungkook mengendikkan bahunya sekali kemudian menyesap segelas tequilanya dengan pelan. "Siapa tahu. Kau terlihat sangat stress hari ini dan kau terlihat seperti bisa meminum dua galon vodka."

"Ck. Kau sangat berlebihan," decakku lalu menghela napasku kasar dan menempelkan pipiku pada meja bar. Ada banyak sekali hal berenang di dalam pikiranku, dan hal itu membuatku sangat tidak tenang. Aku benci menjadi orang dewasa. Beban pekerjaan dan tuntutan orang tuaku sangat membunuhku. Apalagi cemoohan keluarga besar karena diriku yang masih bertahan menjadi wanita single.

Kedua orang tuaku tidak bereaksi banyak saat mereka mengetahui bahwa aku dan Jimin sudah berakhir. Tentu saja mereka kecewa karena mereka berdua sangat menyukai Jimin, tapi mereka hanya bisa memberiku semangat di waktu-waktu terpurukku dan mengatakan bahwa Jimin bukanlah satu-satunya lelaki yang ada di dunia ini.

Aku sendiri pun tidak mau terlarut di dalam kesedihan. Aku mencoba untuk menganggap bertemu Jimin hanyalah suatu peristiwa di masa laluku yang bisa dijadikan sebuah pelajaran.

Untuk mengalihkan perhatianku dari segala kesedihan itu, aku akhirnya bertekad untuk belajar lebih giat. Ya, kau dengar aku, seorang Lee Harin yang sangat membenci belajar ini pada akhirnya belajar pada masa kuliahnya dan lulus dengan nilai yang cukup memuaskan. Seorang Lee Harin ini juga sudah menjadi seorang pengusaha yang cukup handal, seorang wanita yang dikenal pengusaha kalangan atas sebagai wanita pekerja keras yang menghasilkan milyaran. Jangan lupakan juga seorang Lee Harin ini adalah wanita yang menjadi incaran para lelaki dan orang tua untuk dijodohkan dengan anaknya, tapi sayangnya untuk saat ini aku hanya akan fokus pada pekerjaanku saja.

"Oh ya, aku baru ingat, aku tidak sengaja membaca majalah gosip saat aku sedang menunggu di ruang tunggu rumah sakit," ujar Jungkook tiba-tiba.

"Tunggu dulu. Kau ke rumah sakit? Kapan? Apa kau sakit?" tanyaku, takut-takut mendengar berita bahwa temanku satu ini ternyata mengidap penyakit yang serius.

Jungkook menggaruk kepala bagian belakangnya, tampak ragu menjelaskannya padaku. "Uhm ... bukan begitu ... hanya saja, waktu itu aku lupa pakai kondom dan aku takut wanita yang aku tiduri tiba-tiba hamil anakku."

Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku, tidak mengherankan lagi bagi seorang Jeon Jungkook. "Lalu apa yang kau temukan di majalah itu?"

Jungkook meneguk tequilanya hingga tandas. "Awalnya aku kira tidak penting, yah kau taulah, majalah gosip ibu-ibu ... tapi setelah melihat judulnya, aku menjadi penasaran dan lanjut membaca."

Somersault; pjmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang