FORTY SEVEN

4.1K 634 247
                                    

"Aku akan datang besok. Mungkin malam."

"Kau tidak perlu memaksakan dirimu, oppa. Kau pasti sangat lelah."

"Kita sudah membicarakan ini, Lee Harin. Aku tidak akan pernah merasa lelah jika aku akan bertemu denganmu, walaupun aku tidak tidur tiga hari."

Aku menggigit bibirku mendengar penuturan Jin. Tanganku menggenggam ponselku dengan sangat erat, dan pandangan mataku tertuju pada jendela besar di depanku yang menampilkan pemandangan kota yang penuh dengan kelap-kelip lampu bangunan maupun jalanan.

Aku menjatuhkan tubuhku di kasur empuk kamar hotelku, dan aku tidak pernah merasa se-kalut ini sebelumnya. Apa yang terjadi dengan aku dan Jimin pagi ini membuat diriku merasa seperti ini.

Aku tidak tahu, lebih tepatnya bingung dengan apa yang harus aku lakukan. Aku tidak bisa berbohong, dan aku tidak bisa melakukan hal ini kepada Jin, apalagi usia hubungan kami bisa dibilang baru seumur jagung.

Jimin terlalu keras kepala, sangat keras kepala malah. Lelaki itu sangat konsisten dengan keinginannya, dan ia akan menggunakan berbagai macam cara agar keinginannya tercapai.

Jimin mungkin tidak tahu bagaimana takutnya diriku sekarang. Aku takut dengan reaksi Jin jika ia tahu apa yang terjadi di antara diriku sekarang dan di masa lalu bersama Jimin.

Aku tidak mengatakan pada Jimin bahwa aku menerima lelaki itu sepenuhnya. Aku tidak mengatakan pada Jimin bahwa aku telah memaafkannya dan akan mengikuti apapun rencananya. Aku tidak sepenuhnya terjatuh dengan apa pun yang Jimin coba lakukan. Aku hanya membiarkan dirinya menggantung.

Aku masih memiliki rasa berperi-kemanusiaan. Aku masih sadar bahwa aku memiliki Jin jauh di sana, dan aku tidak akan mau meninggalkan Jin begitu saja. Jin adalah sebuah hadiah terbaik yang pernah aku terima di kehidupanku. Tidak pernah dalam hidupku aku merasa tersakiti berada di dekat lelaki itu. Aku tidak mau menyakiti Jin, bagaimana pun caranya. Karena Jin tidak pantas untuk disakiti.

Maka dari itu, kali ini aku benar-benar dihantui oleh perasaan dilema yang begitu memusingkan. Dilema yang membuatku merasakan pening di kepalaku dan membuat perutku rasanya mual hanya karena terlalu banyak memikirkannya. Aku benci perasaan ini. Aku benci karena aku merasa aku tidak berguna dan hanya diam tidak melakukan apapun untuk mengatasi masalah ini.

"Rin? Apa kau baik-baik saja di sana?"

Aku mengerjapkan mataku berkali-kali, baru tersadar bahwa sedari tadi ponselku menempel di telingaku dan sambungan teleponnya belum terputus. Sepertinya aku terlalu lama berpikir sampai aku lupa bahwa aku sedang menelepon Jin.

"Ya, aku baik-baik saja," jawabku.

"Apa ada sesuatu yang mengganggumu? Kau bisa cerita."

"Tidak ada, tidak perlu khawatir. Hanya ada masalah kecil dengan pekerjaanku tadi dan sebenarnya tidak terlalu penting," dustaku. Tapi aku tidak sepenuhnya berbohong kan? Maksud 'masalah' dalam pekerjaanku adalah rekan kerjaku itu.

"Benarkah? Kau serius?"

"Iya. Tidak perlu khawatir, oppa. Lagi pula masalahnya tidak besar, jadi akan bisa teratasi dengan cepat."

"Baiklah kalau begitu. Aku akan doakan semuanya akan baik-baik saja."

"Terima kasih, oppa."

Sekarang bagaimana ini? Bagaimana bisa aku meninggalkan lelaki sebaik ini? Aku tidak akan mungkin melakukannya. Aku merasa tidak pantas jika aku disandingkan Jin. Menurutku, sulit untuk menemukan wanita yang pantas untuk seorang Kim Seokjin. Jin orangnya terlalu baik, dan Jin lebih pantas menerima wanita yang lebih baik dariku.

Somersault; pjmWhere stories live. Discover now