THIRTY FOUR

3.7K 652 153
                                    

"Katakan pada mereka aku sedang sakit."

"Haha. Pintar sekali Lee Harin. Aku bisa mendengar suara netflix dari sini."

"Apa aku tidak bisa menonton netflix sambil mengistirahatkan diriku?"

"Alasan yang bagus. Tapi aku bisa mendengar suara bungkus kripik kentangmu."

"Kau pasti sedang berhalusinasi. Aku benar-benar sakit dan sedang tidur di kasurku."

"Oh ayolah. Aku akan terus ada di sampingmu. Ada Seokjin hyung juga. Apa yang kau khawatirkan? Dia juga sudah ada Kang Sora."

"Kau hanya tidak mengerti Kook ..."

"Apa kau masih punya perasaan terhadapnya?"

" ... "

"Sadarlah Lee Harin. Dia akan menikah tidak lama lagi. Demi Tuhan ini sudah sepuluh tahun! Dan kau masih mengharapkannya?"

"Aku tidak pernah bilang kalau aku mengharapkannya."

"Lalu kenapa kau bersikap seakan-akan kau masih mengharapkannya?"

"Kapan aku bersikap seperti itu?"

"Sekarang."

Aku terdiam, tidak membalas ujaran Jungkook. Tidak sadar aku menggigit bibirku. Pertanyaan Jungkook masih berenang bebas di dalam otakku. Apakah aku mengharapkannya? Demi Tuhan sadarlah, Lee Harin! Dia bahkan baik-baik saja dengan tunangannya itu. Lalu kenapa diriku masih tetap seperti ini?

"Hey. Kau masih hidup?"

Jungkook menyadarkanku dari lamunanku. Aku tidak sadar aku terdiam terlalu lama, membiarkan Jungkook menungguku untuk berbicara dari seberang sana.

"Aku bilang aku tidak akan datang. Itu sudah menjadi keputusan mutlakku. Dah."

Aku memutus sambungan teleponku secara sepihak, tidak memberi kesempatan pada Jungkook untuk membalas ucapanku. Aku menaikkan kedua kakiku pada sofa, memeluk kedua lututku. TV-ku yang masih menyala mengisi kekosongan apartemenku. Aku bahkan tidak yakin film apa yang sedang diputar sekarang.

Pertemuanku dengan Jimin di gym kemarin membuat diriku terguncang cukup hebat. Sebenarnya apa yang dia inginkan? Memangnya siapa dia dengan seenaknya mengucapkan hal itu padaku? Aku sama sekali tidak mengerti dengan jalan pikir lelaki itu. Dia tidak bisa seenaknya mengatakan dia merindukanku setelah dia pergi meninggalkanku dengan hatiku yang sudah hancur berkeping-keping ini.

Bodohnya lagi, kenapa aku terpengaruh dengan perkataannya? Aku memukul kepalaku berkali-kali. "Bodoh. Bodoh. Kau bodoh Lee Harin. Kenapa kau masih memikirkannya? Dia hanya mencoba untuk mempermainkanmu," ujarku pada diriku sendiri. "Dasar lelaki sialan memang," desisku.

Aku hendak memukul kepalaku lagi tapi sebuah tangan menghentikan pergerakanku. Aku segera mendongakkan kepalaku dan menemukan Jungkook sudah berdiri di belakangku, menggenggam pergelangan tanganku dengan sangat erat.

"Apa melukai dirimu sendiri membuat masalahnya akan hilang?" dengusnya sebelum melepaskan pergelangan tanganku kemudian mendudukkan dirinya di sofa sebelahku. "Jadi aku benar. Kau masih mengharapkannya," ujar Jungkook datar.

"Kenapa kau kesini?" ucapku sebal, memberikan lelaki yang duduk di sebelahku ini tatapan tajam.

"Kenapa memangnya? Kalau kau cukup pintar, kau pasti sudah mengganti sandi pintu apartemenmu dengan yang lain, bukan tahun lahir kita."

Aku mendenguskan napasku kemudian melipat kedua tanganku di depan dada. Aku payah dalam membuat kata sandi, dan aku tidak punya ide lain selain menggunakan tahun lahirku. Lagi pula sejauh ini hanya Jungkook yang mengetahuinya, jadi aku tidak terlalu mempermasalahkannya.

Somersault; pjmWhere stories live. Discover now