PROLOG

2.1K 63 5
                                    

Pandeglang, Banten

3 Februari 1808

Bias temaram senja di ufuk barat telah menghilang. Kini, langit tak lagi terang. Berkas-berkas cahaya rembulan menerpa begitu tipis, mencoba menembus gemerisik dedaunan terhempas semilir angin. Tak ada lagi suara peradaban yang terdengar, kecuali derap langkah Sjariffudin yang menjejak tanah, beradu dengan suara retakan ranting kering yang terinjak dan kemudian hancur. Nafasnya memburu disertai peluh menganak sungai di kening dan seluruh tubuhnya yang terlihat seperti tulang berbalut kulit.

Sjarifuddin berlari sekuat tenaga, meskipun napasnya sempat beberapa kali terhenti karena tak sanggup mengimbangi rasa takut yang luar biasa. Dadanya sesak, tapi harus terus berlari atau ia mati. Bukan mati karena kehabisan napas yang dikhawatirkannya, tetapi mati di tangan sesuatu tak kasat mata yang sedang mengejarnya saat itu. Satu tangan Sjarifuddin memeluk kepingan medali seukuran telapak tangan pria dewasa. Medali itu terlihat berkilau meskipun di dalam pekatnya malam. Baru saja Sjarifuddin menemukannya dan berniat membawanya pulang, sebelum pasukan Daendels merampas dan membunuhnya. Namun, sesuatu terjadi ketika kedua tangan Sjarifuddin menyentuh medali itu. Angin berembus kencang seolah akan mengangkatnya ke angkasa tanpa ampun.

Nafas Sjarifuddin terus memburu. Keyakinannya bahwa ada sesuatu yang sedang mengejarnya semakin kuat, meskipun tak terlihat. Sementara itu, ia tidak menyadari medali dalam dekapannya berpendar mengeluarkan cahaya keemasan. Lelaki setengah baya yang kulit cokelatnya hampir menghitam karena terpanggang matahari akibat kerja rodi itu gemetar tak keruan. Ia takut, tetapi tak ingin melepaskan benda itu. Ia ingin memiliki dan membawa benda itu ke mana saja, meskipun nyawa taruhannya. Saat ini yang ada di benaknya adalah ingin terus berlari dan hidup abadi dengan medali itu.

Berkali-kali Sjarifuddin menoleh ke belakang hingga akhirnya malah terjerembap jatuh karena tersandung akar pepohonan yang malang melintang. Sedangkan di atas sana, dedaunan begitu rimbun hingga rembulan pun tak terlihat. Seketika medali itu terlempar dan jatuh tak jauh darinya. Lelaki itu masih berusaha untuk menggapainya. Padahal, seluruh tubuhnya terasa remuk akibat jatuh berdebum di atas tanah berbatu, ditambah lagi goresan ranting patah yang menambah luka di kulitnya. Hampir saja jemari Sjarifuddin berhasil menggapai medali itu, tetapi sayang, angin kencang terlebih dulu menyeret tubuhnya. Kemudian angin itu mengangkat tubuh lunglai Sjarifuddin ke angkasa dan membantingnya jatuh kembali ke bumi.

Tubuh Sjarifuddin tergeletak kaku tak berdaya.

[TAMAT] Api Unggun TerakhirWhere stories live. Discover now