Pesan Terselubung - Eps. 77

357 15 0
                                    

Gunung Raksa, Ujung Kulon

1 Desember 2016


Mesin helikopter disertai bisingnya baling-baling helikopter menderu di telinga Dirga, Kenan, dan juga Al. Hari itu, mereka berniat kembali ke Gunung Raksa, tempat di mana Kirana mengorbankan nyawanya dengan jasad yang tak tahu di mana rimbanya. Kalung bronze wolf award milik Kirana tergenggam di tangan Dirga. Dengan hati berkecamuk, lelaki itu menguatkan hati. Beberapa petugas TNI yang mengawal mereka hanya bisa tersenyum, mencoba menyemangati hati mereka yang mungkin kembali perih karena harus kembali ke tempat di mana kejadian pahit itu terjadi.

Helikopter itu akhirnya tiba di lokasi. Satu-satunya cara agar mereka bisa turun adalah dengan menggunakan tali. Kenan yang merupakan anggota Pramuka Saka Dirgantara, tak lagi asing dengan hal seperti itu. Ia bahkan sangat antusias. Sama halnya dengan Al yang belum pernah melakukan hal seperti itu.

"Nanti videoin aku ya, mau aku upload di YouTube!" pekik Al girang.

"Dasar narsis!" umpat Kenan kesal.

Lain hal dengan Dirga yang masih diam seribu bahasa.

Akhirnya, mereka berhasil satu persatu turun dari helikopter menggunakan seutas tali. Dirga menjejakkan kakinya di tanah yang setengah basah. Jalan setapak yang pernah ia lalui, sekarang terlihat seperti tidak berujung. Dirga masih agak pusing karena penerbangannya kali itu, dan dunia di sekelilingnya seperti berputar-putar. Satu-satunya suara yang dapat didengarnya adalah embusan angin yang bersiul di antara ranting-ranting beku setelah helikopter itu terbang menjauh, memberi mereka waktu sejenak di sana.

Dirga melemparkan pandangan ke sekeliling. Tidak ada apa pun di semak-semak dan pepohonan. Tidak ada apapun di depan kecuali tempat yang dia tuju, tidak ada apa pun di belakang kecuali tempat yang dia tinggalkan. Dirga bergerak maju, menjadi orang paling akhir setelah Al dan Kenan mendahuluinya. Buku-buku jarinya sekarang putih karena mengepal, sakit mengingat kejadian saat Kirana harus tersiksa meregang nyawa. Sepatunya basah karena dingin. Hoodie yang ia kenakan membingkai wajahnya yang pucat.

Dirga tahu secara instingtif ke mana kakinya harus melangkah. Tapi, masih saja dia merasa terlalu berat untuk terus maju, seolah dirinya berenang dalam kubangan minyak. Angin menerpanya, kering dan tajam, dan langit kelabu dicorat-coret oleh ranting-ranting pohon. Tidak ada kehadiran aroma sedikit pun, bahkan inderanya pun membeku. Di tengah dingin, jari-jari mati rasa, mata tidak bisa melihat karena kabut yang mulai turun. Apa pun yang lebih jauh dari satu setengah meter di hadapannya tertelan oleh putih yang menyebar. Dirga tidak yakin, apakah dia masih sadar. Dirga dapat merasakan senandung yang nyaris tak terdengar di pepohonan. Sesekali terdengar seperti sesuatu patah, tetapi saat dia menoleh, tidak ada apa-apa di sana. Al dan juga Kenan tiba-tiba lenyap dari pandangan.

Namun, tetap saja dia dapat merasakan sesuatu di belakangnya, semakin mendekat. Dirga mempertajam pendengarannya, mencoba untuk tetap hening, bahkan saat dia mempercepat langkahnya hingga berlari. Seekor binatang. Pasti itu seekor binatang. Apakah itu binatang yang mengambil alih jasad Kirana?

Benar. Ada sesuatu di sana. Dirga yakin.

Dirga mendengarnya, semakin keras. Dan semakin keras.

Lebih dekat.

Dirga melambat. Dia tidak takut, katanya dalam hati. Bisa saja itu Al atau Kenan yang mengejarnya. Bisa juga binatang buas yang membawa jasad Kirana pergi, mengoyaknya di suatu tempat. Namun, Dirga memutuskan, apa pun itu, tidak akan lebih buruk dari apa yang sudah dihadapinya. Dia berbalik, kelelahan, siap menghadapi takdir terburuknya.

Apa yang dilihatnya menyebabkan perutnya bergolak, hampir membuatnya jatuh tersungkur. Sosok gelap yang muncul dari balik pepohonan berlapis kabut membawanya kembali ke kenyataan, menyadarkannya untuk tidak menyerah. Dia terhuyung beberapa langkah ke belakang, tetapi tidak mampu bergerak lebih jauh lagi.

Itu adalah Kirana, Kirana-nya, menguntit sang kakak kelas yang mampu membuatnya terpesona sejak awal bertemu di perpustakaan kampus, pemuda yang telah dengan gagah berani mencoba melindungi dan menyelamatkannya. Pakaiannya sudah koyak, jaketnya hilang.

"Dirga, syukurlah kamu baik-baik aja."

Wajahnya bercahaya karena udara dingin terbalut kabut. Dia sangat indah. Tetesan air di bulu matanya bagai permata, pipinya merona, dan bibirnya basah juga memerah.

Dirga terhuyung mendekati Kirana.

"Aku harus meninggalkanmu." Suara Kirana patah-patah. "Kamu nggak akan aman bersamaku."

Apa pun dirinya, dia tidak mungkin jahat. Sebuah pikiran yang menakjubkan dan mengerikan terlintas dalam benak Dirga, menyingkirkan yang lainnya.

"Kirana..."

Dirga melangkah mendekatinya dengan tangan terbuka lebar. Mereka saling berpelukan. Jari-jari beku Dirga menghangat di pipi Kirana, dan lengan Kirana menyelusup di balik lengan berjaket milik Dirga, sementara rambut hitam panjangnya menari di sekitar mereka. Terbungkus naungan kabut putih, berdiri mencolok, hanya ada mereka berdua. Tidak ada apa pun yang lain di mana pun. Dirga tahu dia tidak akan pernah bisa jauh darinya, bahwa dia menerima Kirana apa adanya setelah ini dan akan selalu menjaganya.

"Dirga!" satu tamparan keras mendarat di pipi Dirga. Kenan menatap sahabatnya yang sudah tersungkur di tanah itu dengan was-was.

Mata Dirga terbuka. Mengerjap perlahan dan menatap Kenan juga Al bergantian.

"Kamu kenapa?" Al cemas.

Dua orang anggota TNI yang mengikuti mereka juga tengah menatap Dirga dengan pandangan penuh khawatir. "Kamu tidak apa-apa?" salah satu di antara mereka bertanya.

"Kirana!" Dirga setengah berteriak.



TAMAT

[TAMAT] Api Unggun TerakhirWhere stories live. Discover now