Murka Leluhur - Eps. 11

229 19 2
                                    

Kirana menghampiri tempat duduk kakek Tubagus Maulana di teras depan rumah malam itu. Ia membawa segelas kopi hitam tanpa gula.

Kakek Tubagus Maulana menganggukan kepalanya sebagai tanda terima kasih, lalu meletakkan gelas yang masih mengepulkan asap itu perlahan ke atas meja. Kirana duduk di sebelah kakeknya sambil memandang halaman depan. "Manusia yang punya akal, seharusnya mampu mengeksploitasi bumi ini tanpa menganggu pusat-pusat kehidupan yang telah lama ada sebelum mereka," katanya membuka percakapan.

"Maksud Kakek?" Kirana menoleh sambil mengangkat kedua alisnya tanda tak mengerti.

"Kamu pernah dengar apa itu paku bumi?"

Kirana menggeleng cepat.

"Bumi kita yang kian tua ini memiliki titik-titik penyangga layaknya paku. Jika paku bumi ini tercerabut, maka sisanya adalah kehancuran." Kakek Tubagus Maulana menyeruput kopinya.

"Kakek tidak sedang membicarakan sekolah Pandu yang akan dihancurkan itu kan?" Kirana semakin tak mengerti kemana arah pembicaraan itu.

Kakek Tubagus Maulana meletakkan gelas kopinya kembali ke atas meja seraya tersenyum penuh makna. "Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku. Itu bunyi Alquran, pada Surat Adz Dzaariyaat ayat 56," ucap lelaki itu menghela napasnya perlahan dan santai. "Kita itu hidup berdampingan dengan mereka. Tapi kenyataannya, banyak manusia yang mengganggu dan merusak dengan keji."

"Apakah leluhur kita marah, Kek, hingga mereka merasuki anak-anak untuk mengungkapkan ketidaksukaan mereka?" tanya Kirana.

"Apapun namanya, yang jelas mereka terusik. Qorin yang juga dikenal sebagai leluhur kita atau kakang sedulur itu, secara sederhana adalah kembaran kita sesuai amalan ketika masih hidup di dunia. Ketika manusia mengalami kematian, ruh akan berpindah ke alam barzah, sementara qorin tidak akan berpindah melainkan tetap akan hidup di dunia hingga hari kiamat. Qorin-qorin nenek moyang kita ini masih menjaga nusantara. Nenek moyang kita memiliki kemampuan menembus berbagai dimensi berbeda. Ada tujuh lapis dimensi yang masing-masing dihuni oleh golongan berbeda. Kemampuan berpindah dimensi ini sederhananya disebut dengan moksa atau menghilang tanpa bekas seperti Prabu Siliwangi yang oleh masyarakat Sunda disebut dengan nga-hyang. Kamu sebagai mahasiswi arkelogi perlu lebih banyak menggali lagi, bukannya menelan mentah-mentah cerita yang ada dari sebatas legenda tapi juga berdasarkan fakta yang dilandasi oleh ilmu pengetahuan," jelas kakek Tubagus Maulana.

"Percaya akan kuasa keagungan Tuhan dalam bentuk alam semesta yang murni, agung, tak ternoda, mewujud pada segala kemutakhiran energi dalam diri manusia-manusianya. Mengapa manusia zaman dahulu bisa sakti dan luar biasa digdaya-nya? Ya, karena alam semesta berpihak pada mereka, karena Tuhan meridhai pepohonan besar untuk memberikan oksigen dengan kualitas terbaik untuk mereka." Kakek Tubagus Maulana menatap cucunya itu dengan senyum sebagai penutup pembicaraan mereka malam itu.


***

[TAMAT] Api Unggun TerakhirWhere stories live. Discover now