Syair Anagram - Eps. 33

147 10 0
                                    

"Kalau memang artefak itu benar adanya, berarti kita hanya punya waktu sekitar enam hari dari sekarang," kata Dirga menyimpulkan. "Minimal kita sudah tahu kemana tujuan kita."

"Iya, tapi masalahnya gerhana matahari itu tidak akan melewati lokasi yang kalian maksud," kata Kenan menarik napas dalam-dalam.

"Ya, aku tahu. Tapi kita tetap harus mencari tahu ke sana untuk membuktikan kebenarannya. Tuhan tetaplah Sang Pengatur Semesta, bukan?" kata Dirga

Kenan mengangguk. "Sepertinya kalian harus bergegas. Kabari aku jika kalian sudah tiba di Samarinda. Aku menunggu kalian di sini," kata Kenan sebelum mengakhiri pembicaraan mereka.

"Ok, nanti kuhubungi lagi ya!" kata Dirga yang kemudian mengusap ikon berbentuk telepon berwarna merah di layar ponselnya.

"Jadi gimana? Kalian ikut kan? Jujur aja, aku butuh kalian." Dirga memutar tubuhnya menatap Al dan juga Kirana.

"Tentu saja aku ikut, kan kamu butuh jurnal ayahku!" Al sewot. "Dan siapa tahu dengan misi ini aku bisa jadi salah satu kandidat penerima Bronze Wolf Award atau Chairman's Award." Al menyeringai.

Dirga melengos. "Bagaimana denganmu Kirana?" tanyanya.

Gadis itu tampak bimbang. "Entahlah, aku harus minta izin dulu pada kakekku," katanya dengan suara lirih.

"Ok, kapan kamu mau minta izin?" tanya Dirga.

Kirana mengeluarkan ponselnya dari dalam saku jeans-nya. Ia mengangkat benda itu dan berkata, "Boleh sekarang?"

"Tentu saja," jawab Dirga melemparkan senyumnya.

Kirana pun beranjak, keluar dari ruangan itu sambil menekan nomor ponsel kakeknya di rumah.

"Assalamualaikum, Kirana," sapa Kakek Tubagus Maulana dari seberang.

"Waalaikumsalam, Kek," jawab gadis itu lembut. "Kakek lagi sibukkah?"

"Tadinya, tetapi sekarang kakekmu ini sudah berada lagi di rumah."

"Kakek dari mana?"

"Tadi siang, Kakek sibuk menyelamatkan Pandu yang tiba-tiba saja berteriak dan melempari para pekerja yang sedang melakukan penggalian di halaman sekolahnya."

"Apa? Jadi mereka sudah mulai melakukan penggalian? Bagaimana bisa, Kek?"

"Tentu saja bisa, Nak. Jika hawa nafsu dan ambisi sudah menguasai hati seseorang, maka semua bisa dilakukan dengan segala cara untuk mewujudkannya tanpa peduli apa akibat yang akan terjadi. Yang pasti, waktunya sudah semakin dekat."

"Maksud Kakek?"

Tak ada suara dari seberang. Namun, tiba-tiba saja Kirana mendengar suara jeritan dan teriakan membahana.

"Kakek? Ada apa, Kek?" Kirana panik.

"Kirana, nanti Kakek akan menghubungimu kembali. Saat ini kondisinya benar-benar darurat, karena tampaknya beberapa pekerja kerasukan!"

Dan Kirana hanya bisa diam tak bergerak di tempatnya, ketika menyadari bahwa kakeknya itu telah memutuskan pembicaraan mereka, karena nada tut tut tut terdengar begitu nyaring di telinganya.

"Gimana, Na?" tanya Dirga ketika melihat gadis itu kembali masuk ke dalam ruangannya.

"Uhm... maaf, aku belum bisa kasih keputusan karena kakekku agak sedikit sibuk. Mungkin nanti aku akan telepon beliau lagi." Gadis itu tersenyum simpul dengan sedikit beban di dadanya. Cemas akan kondisi kakek dan adiknya.

"Oh, gitu? Oke, kabari aku ya, kalau kamu sudah dapat izin." Dirga tersenyum. "Kalau gitu, kita bersiap-siap sekarang. Aku sudah beli beberapa perlengkapan untuk bekal kita selama perjalanan nanti. Salah satunya ini!" dengan konyolnya Dirga mengacungkan sebuah kompas dan peta yang terlipat dalam plastik.

Al dan Kirana saling tatap.

"Buat apa itu?" tanya Al menatap Dirga tanpa kedip dengan telunjuk menggantung di udara, tertuju pada dua benda di tangan Dirga tadi.

"Ya buat bekal kita-lah biar nggak nyasar! Kalian ini gimana sih, katanya Pramuka tapi fungsi kompas sama peta aja nggak tahu!" dengus Dirga kesal.

"Heh, kecoa! Pramuka itu nggak seprimitif yang kamu pikirin ya! Kami juga mengenal GPS dan Google Earth!" timpal Al tak terima.

Seketika Dirga kelu. Ia baru sadar kebodohannya.

Kirana terbahak-bahak. "Maklum Al, dia bukan generasi milenial!"


***

[TAMAT] Api Unggun TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang