Sandera Tumbal - Eps. 46

141 7 0
                                    

"Aku tahu seperti apa perasaanmu sekarang, Ga. Kamu merasa sebagai penanggungjawab atas kami semua. Oleh karena itu kamu bersikeras untuk menyusul Kirana. Untuk memastikan bahwa dia baik-baik aja. Tapi, izinkan setidaknya kami beristirahat sebentar. Dua kejadian tadi bukan kebetulan kita alami. Dua kejadian tadi bukan kejadian biasa yang sifatnya normal. Dua kejadian tadi bisa membuat nyawa kita melayang. Setidaknya, beri sedikit waktu untuk sejenak melepas lelah," jelas Kenan dengan bijak.

Tak ada kata keluar dari mulut Dirga. Ia melepaskan ransel dari bahunya. Membanting benda itu begitu saja ke tanah. Lalu, menghempaskan diri bersandar pada batu besar tadi. Dirga tak ingin melanjutkan debat mereka. Udara semakin dingin menusuk tulang. Suara hewan-hewan malam saling bersahutan tanpa fisik terlihat mata. Cahaya rembulan, samar menembus dedaunan yang rimbun. Hampir tak ada penerangan lain, selain api unggun yang ada di tengah mereka saat itu. Mata Dirga tertuju pada jilatan api yang menyala di hadapannya. Percikan-percikan bunga api dan suara ranting yang terbakar hangus mendominasi.

Ingin sekali rasanya, ia tak mempercayai apa yang telah ia lewati hari ini. Kematian Suban oleh mandau misterius, Klaus yang tiba-tiba menodongkan pistol padanya, ditutup dengan makhluk yang dipercaya Dirga sebagai makhluk gaib berbentuk naga penjaga salah satu pecahan medali yang kini aman di dalam ranselnya. Ia tak yakin, apa ini semua nyata. Tapi ia lebih tak yakin, jika semua ini mimpi belaka. Angin sepoi-sepoi membuai Dirga yang menjadikan otot di seluruh tubuhnya meregang. Seketika, ia merasa rileks dan mengantuk. Tak butuh waktu lama, Dirga terpejam.

Dirga... tolong aku! Bawa aku pergi dari sini! Aku mohon, Ga! Cepat temukan aku atau aku akan mati!

"Kirana!" pekik Dirga dengan mata terbelalak dan tubuh bersimbah peluh.

Tak ada siapapun di dekatnya, kecuali Al dan Kenan yang tertidur pulas dalam posisi duduk. Api unggun di hadapannya pun hampir padam. Langit tak lagi pekat. Samar berwarna keunguan, tanda Sang Surya akan segera menyapa. Dirga masih bergidik mengingat mimpinya tadi. Kirana dengan pakaian compang-camping tengah merengek padanya dengan wajah yang sudah tak keruan lagi bentuknya. Gadis itu bahkan menangis darah dan mengiba padanya untuk segera di tolong. Dirga bangkit dari duduknya, bergerak membangunkan Al dan juga Kenan.

"Masih ngantuk, Ga," rengek Al yang malah berguling ke sisi kirinya. Tidur di atas hamparan dedaunan kering.

"Kirana butuh pertolongan kita, Al!" bentak Dirga yang berhasil membuat Al terlonjak.

"Kamu sudah hubungi Kirana? Dia bilang apa?" Dengan mata perih dan lengketnya setengah mati, Al mencoba menatap Dirga.

"Nggak ada sinyal di sini. Aku cuma melihatnya melalui mimpi. Dan asal kamu tahu, sebelum aku berkenalan dengan Kirana, aku pernah mendapat mimpi yang sama. Bedanya, saat itu aku nggak lihat sosok Kirana. Tapi tadi..." Dirga tertegun.

"Tadi kenapa, Ga?" tanya Kenan penasaran.

"Kondisi Kirana nggak keruan. Dia kayak orang disiksa," jawab Dirga menerawang, menerka apa yang sebenarnya terjadi.

"Ya sudah, kita lanjutkan perjalanan sekarang. Semoga Kirana baik-baik aja," kata Kenan sambil menginjak-injak api unggun yang sudah hampir padam itu. Ia kemudian menaburkan tanah lembap ke atasnya, mengaduknya perlahan dan memastikan bahwa tak ada lagi sisa panas di sana dengan tangannya sendiri.

Setelah memastikan tak ada yang tertinggal, mereka pun melanjutkan perjalanan.


***

[TAMAT] Api Unggun TerakhirKde žijí příběhy. Začni objevovat