Buaian Nirwana - Eps. 75

192 9 0
                                    

Rumah Dirga – Surabaya, Jawa Timur

20 November 2016


Dirga serasa telah kembali ke dunia dari tempat yang penuh kegelapan. Dia memandang berkeliling, mengenali selimutnya. Ini selimut kesayangannya sejak kecil. Ibu selalu meletakkan selimut itu di kamar Dirga hingga ia sebesar ini. Namun, bukankah dulunya berwarna putih? Sekarang selimut itu merah, semerah darah. Berwarna cerah, seperti sesuatu yang hidup.

Rintik hujan yang lembut mulai turun lagi, membentuk genangan di beberapa tempat dan membasahi rumput di luar. Hujan pertama di tahun ini, setelah kemarau panjang. Pasti hujan turun sepanjang malam. Langit datar dan berwarna putih, seperti sebuah mimpi. Dirga menoleh ke sosok yang berbaring tepat di sampingnya. Kirana.

Dirga sepertinya telah membangunkan gadis itu. Entah mengapa ia tak merasa heran, Kirana bisa ada di sana bersamanya. Dia berguling menghadap ke arah Kirana. Mata gadis itu basah dan membulat, pupilnya yang kecoklatan membesar. Bulat seperti kelereng.

"Bukan main cantiknya matamu, Na," kata Dirga tenang. Dia melihat bahwa setiap lekuk dari wajah Kirana jelas dan lembut. Dirga merasakan sensasi aneh seperti yang biasa dia rasakan ketika minum terlalu banyak air dengan terlalu cepat. Kosong, kembung, kemudian pusing.

"Agar bisa melihatmu lebih baik, Ga," kata Kirana yang menatapnya lekat dengan pelan, agak teredam.

Dirga tersenyum. Kirana membalas senyuman itu dengan menjulurkan kedua tangannya ke bahu Dirga.

Tubuh Dirga bergidik. Sentuhan tangan Kirana terasa amat dingin. "Na, kenapa tanganmu dingin banget?"

"Agar kamu bisa mati membeku bersamaku, Ga!" jerit Kirana sambil mencekik leher Dirga kuat-kuat.

***

Dirga terlonjak bangun sambil menjerit. Setelah menguasai dirinya, Dirga tersadar bahwa dia sedang berada di ranjangnya sendiri. Di rumah orangtuanya, di Surabaya, kota kelahirannya. Cahaya matahari pagi menerpa wajahnya. Dengan terengah-engah, Dirga mencoba bernapas.

Ibu yang menunggu di samping ranjang sambil memandangi Dirga tidur, menyandarkan tubuhnya mendekat.

"Dirga," ucapnya dengan suara manis yang terasa asing di telinga Dirga. Mata ibunya seperti menerawang jauh. Dirga menatap luka dalam yang melintangi wajah ibunya. "Ibu sudah masak sup iga kesukaanmu," katanya dengan nada yang tetap manis dan lembut.

Dirga menarik napas. Aroma cokelat hangat menguar mengalahkannya. Dirga menggigit bibirnya. Apakah aku sudah bangun dari buaian nirwana yang sempat membutakanku tadi? Sulit mengetahuinya kini.

Wajah ibunya disetel dengan senyum yang tidak wajar. Dirga merunduk di bawah tangan ibunya dan beranjak bangkit dari ranjang, keluar kamar. Menuruni tangga dengan bertelanjang kaki, dua anak sekaligus.

"Dirga?" tanya ibunya, kepalanya miring ke satu sisi seperti seorang gadis kecil yang sedang bertingkah.

"Aku mau bersiap, Bu. Aku harus menemui Al dan Kenan. Mereka mungkin dalam bahaya," kata Dirga yang entah mengapa berfirasat bahwa mimpinya tadi adalah suatu pertanda buruk.

"Dirga, kamu nggak harus selalu merawat semua orang. Ibu sudah memasak sup iga kesukaanmu," ulang ibunya sambil membelai pipi putra kesayangannya itu. Tangannya terasa basah dan dingin. Seperti reptil. Dirga menatap ibunya.

"Hari ini, kamu bisa ketemu sama Al dan Kenan. Kalian akan berangkat ke London. Jangan khawatir," kata ibunya sambil menatap lekat Dirga.


***



[TAMAT] Api Unggun TerakhirWhere stories live. Discover now