Sandera Tumbal - Eps. 45

160 9 0
                                    

Hutan Muara Kaman, Kalimantan Timur

6 Maret 2016


"Kamu yakin kita akan lebih aman keluar dari goa ini?" tanya Dirga tengah menggulung tali karmantel-nya, sesaat setelah menarik Kenan keluar dari lubang tempat mereka terperosok.

"Memangnya, kamu merasa berada di atas sini jauh lebih berbahaya ketimbang berada di bawah dengan naga PMS tadi ya?" ujar Kenan kesal karena Dirga ternyata menyangsikan keputusan yang telah dibuatnya.

Dirga terdiam, sambil terus merapikan alat-alatnya. Medali tadi telah aman berada di dalam ranselnya yang semakin terasa berat. Entah apa yang terjadi, ia pun tak tahu mengapa medali itu bisa terasa panas di tangannya. Dirga bahkan harus membungkus medali itu menggunakan salah satu pakaiannya, sebelum dimasukkan ke dalam ransel.

"Mana tanganmu yang luka?" Al sudah memegang sebotol air mineral di tangannya.

Kenan menoleh dan mengulurkan tangannya pada Al. "Aduh!" pekiknya karena rasa perih yang menyerang di bagian lengan akibat semburan api naga albino tadi.

Setelah mengeringkan luka itu, Al segera mengoleskan bioplacenton tepat di luka Kenan. Seketika, sensasi dingin pun menjalari permukaan kulitnya. Memberikan rasa nyaman, menutupi perih itu samar.

Kenan pun bergegas menggali tanah dan mencari beberapa patahan kayu, ranting serta dedaunan kering dari pepohonan di sekitarnya. Satu persatu ia menumpuk kayu itu mulai dari yang diameternya paling besar, disusul dengan kayu berdiameter kecil dalam posisi saling silang agar mudah terbakar dan udara dapat masuk melalui celah-celahnya. Kemudian, ia menutupi kayu itu dengan dedaunan kering secukupnya. Ia mengeluarkan korek dari dalam tas dan digunakan untuk menyulut api unggun yang tengah ia buat. Perlahan dia berusaha mempertahankan nyala api secara konstan, sambil menambah tumpukan ranting dan daun hingga api unggun menyala sempurna, memberikan mereka kehangatan.

Dirga tak banyak bicara saat itu. Setelah memasukkan seluruh peralatannya, ia malah duduk di sisi sebuah batu besar. Pikirannya berkecamuk menerka apa yang sedang terjadi pada Kirana. Ia tak pernah menyangka, bahwa Klaus bisa senekat itu menodongkan pistol ke arahnya tadi.

"Dirga!" Al memanggil, sekaligus melemparkan satu bungkus roti coklat ke arahnya.

Dengan cepat, Dirga menangkap bungkusan roti itu.

"Sebungkus roti memang nggak akan pernah cukup untuk menenangkan perut kita malam ini. Tapi, nggak memungkinkan juga untuk kita berburu hewan tengah malam seperti ini," jelas Al yang sudah menyobek bungkus rotinya, lalu menggigit roti itu hingga coklatnya meluber ke tiap sisi gigitannya.

"Kita harus mendirikan tenda di sini untuk beristirahat sejenak," kata Kenan yang wajahnya samar terlihat pucat karena kelelahan.

"Nggak. Kita harus menyusul Kirana," sela Dirga dengan suara dalam. Entah mengapa perasaannya tak keruan.

Al tersedak mendengar itu. Buru-buru ia meraih botol minuman yang setengah airnya terbuang untuk mencuci luka Kenan tadi. "Kamu yakin mau mencari mereka sekarang?"

Kepala Dirga mengangguk perlahan.

"Aku tahu kamu khawatir dengan Kirana, Ga, tapi maaf, kita juga butuh istirahat," bujuk Kenan.

"Ya terserah kalian aja kalau memang nggak mau ikut denganku untuk menyelamatkan Kirana," ujar Dirga yang malah beranjak dari duduknya. "Aku hanya ingin menukar medali ini dengan Kirana, lalu kembali pulang. Aku yakin, hanya medali ini yang menjadi fokus utama orang asing biadab itu," kelu Dirga kesal. Laki-laki itu sudah menggantungkan ranselnya lagi di bahu dan perlahan berjalan meninggalkan Al dan Kenan yang sebenarnya terlalu letih untuk meneruskan perjalanan.

"Ga, jangan gitu dong!" buru-buru Al mengejar Dirga dan menarik lengannya. "Belum tentu mereka orang jahat kan?"

"Belum tentu gimana? Jelas-jelas salah satu dari mereka nodongin senjata ke mukaku kok!" geram Dirga kesal.

"Mungkin dia panik karena kamu marah-marah dan emosional," balas Al.

"Al, mereka bukan anak kecil yang nggak tahu apa fungsi senjata api kan?" emosi Dirga mulai tersulut. "Apalagi mereka sempat menyebut bahwa orang Indonesia seperti kita sangat mudah diperbudak hanya dengan rupiah!"

"Heh, kalian bisa ngomong baik-baik nggak? Jangan karena ini hutan, lalu kalian bisa berteriak seenaknya di sini! Kalian nggak mau kan ada mandau melayang lagi nyasar ke leher kalian?" seloroh Kenan yang dengan susah payah bangkit dari duduknya hanya demi menyeret kedua temannya itu kembali ke dekat api unggun.

Dirga dan Al saling tatap. Terekam jelas di benak mereka, bagaimana salah satu mandau tertancap di kepala Suban dan menumbangkannya. Entah dari mana asal mandau itu. Mereka tak ingin tahu sedikit pun.


***

[TAMAT] Api Unggun TerakhirWhere stories live. Discover now