Sandera Tumbal - Eps. 47

139 9 0
                                    

"Menurutmu, kita harus berjalan ke arah mana?" tanya Al pada Dirga yang berjalan tepat di sampingnya dengan wajah tanpa ekspresi.

"Entahlah." Dirga menghela napas panjang. Ia kesal karena tak bisa menemukan ide bagaimana cara menemukan Kirana.

"Apakah mungkin jika Elizabeth mengira medali itu ada di Goa Lebaho Ulaq dan membuatnya harus mencari pintu masuk goa itu?" tanya Kenan.

"Nggak mungkin. Karena dia pasti tahu, jika pintu Lebaho Ulaq bukan di tengah hutan seperti ini," jawab Dirga menghentikan langkah. Bukan karena lelah, tapi lebih karena ia tak tahu harus pergi ke mana.

"Gimana kalau kita keluar dari hutan ini dan cari kantor polisi terdekat!" celetuk Al.

"Nggak Al, aku takut kita akan terlambat dan terlalu jauh dengan Kirana. Bukannya aku nggak percaya sama pihak kepolisian, tetapi lokasi kita sekarang bener-bener sulit!" tukas Dirga.

Al termenung. Namun, ia melihat ada sesuatu yang janggal di balik punggung Dirga. Beberapa ranting tanaman patah secara tidak wajar, seolah tertabrak sesuatu tanpa sengaja. Ia menundukkan kepala dan melihat beberapa patahan ranting dan pijakan sesuatu yang sepertinya berat. Pijakan layaknya jejak sepatu manusia.

Dengan satu tangan, Al mengisyaratkan agar Dirga minggir sedikit. Benar dugaannya, ranting itu patah oleh sesuatu. Seperti sengaja ditabrak oleh manusia yang tergesa lewat di tempat yang sama. Perlahan, Al menyusuri ranting demi ranting di sekitarnya. Banyak ranting bernasib sama.

"Bisa jadi ini jejak Kirana," celetuk Kenan yang paham kemana arah pikiran Al, meskipun lelaki itu terdiam.

"Ya, kamu benar!" Al girang bercampur lega, karena berhasil memecahkan satu teka-teki keberadaan Kirana, meskipun belum benar-benar menemukan di mana gadis itu berada.

Mereka bertiga terus menyusuri jalan setapak di tengah hutan itu dengan setengah mengendap-endap. Hari masih gelap, meskipun beberapa jam lagi matahari akan terbit. Namun, mereka ingin meminimalkan resiko mengganggu apapun yang memang sejak awal sudah berada di dalam hutan itu dibanding mereka.

Dirga yang memang sedari tadi berada di posisi paling belakang menangkap sesuatu. Dengan sigap, ia menarik bahu Kenan dan Al di depannya, memaksa mereka menghentikan langkah. Ia meletakkan telunjuknya tepat di depan bibir, sebagai isyarat agar mereka mengunci mulut. Dirga menatap ke sekitarnya dan benar apa yang ia temukan. Dibalik pepohonan besar itu, Elizabeth dan timnya tengah beristirahat. Api unggun yang masih menyala, mengeluarkan asap putih tipis. Dari cahaya api itulah, Dirga juga bisa melihat sosok Kirana yang tengah diikat tangan dan kakinya dalam posisi duduk. Gadis itu bersandar pada salah satu batang pohon besar dengan mata terpejam. Berbeda dengan Elizabeth dan kedua rekannya, Klaus dan Peter yang masih terjaga.

"Bagaimana jika mereka melapor pada polisi?" tanya Peter cemas.

"Mereka tidak akan melakukan itu. Aku sadar, bahwa mereka anak-anak yang cerdas. Jiwa mereka masih penuh nyala petualangan yang pastinya ingin memecahkan kasus ini sendirian tanpa pihak lain," ujar Klaus sambil mendorong-dorong ranting di sekitar api unggun.

"Apa kita tidak terlalu kejam pada Kirana?" gumam Elizabeth cemas melihat gadis yang wajahnya terlihat sangat kelelahan dan tak berdaya karena ikatan yang dibuat oleh Paul.

"Liz, kita hanya mengikatnya kan, bukan menggantungnya terbalik di atas pohon. Tenanglah!" kata Klaus. "Lagi pula, kau akan membutuhkan gadis itu nanti untuk membaca segala mantra agar kita aman. Bukankah sejak awal kau sudah katakan, bahwa misi ini membutuhkan semacam korban?"

Bibir Elizabeth kelu. Entah bagaimana ia akan menjawab pertanyaan Klaus itu. Ia sebenarnya tak ingin membahayakan nyawa siapa pun, tetapi misi ini harus berhasil atau ia harus mati.


***

[TAMAT] Api Unggun TerakhirDove le storie prendono vita. Scoprilo ora