Peluh & Darah - Eps. 59

136 8 0
                                    

Kirana terengah dengan tubuh sedikit membungkuk, memegang lutut dengan tangannya sendiri. Jalur yang mereka lewati terlalu ekstrim. Benar-benar jalur vegetasi yang rapat dan curam. Kaki dan tangannya terlalu lelah, karena selalu siap sedia untuk melangkah setapak demi setapak menuju puncak.

"Jalannya longsor!" pekik beberapa orang dari rombongan di depan Kirana.

Elizabeth, Klaus, dan Peter yang ada di belakangnya itu pun menghentikan langkah.

Suara hewan-hewan malam terdengar begitu nyaring, mengiringi perjalanan mereka malam itu.

"Mbak, mending muter deh daripada harus ngelewatin batang pohon tumbang," kata seseorang dari rombongan lain yang terlebih dulu melihat Kirana.

Kirana hanya diam. Tatapannya tertuju pada Elizabeth, Klaus, dan juga Peter.

Peter berjalan melewatinya, berpapasan dengan delapan orang lainnya yang memilih untuk jalan turun dan agak memutar. "Hey, apakah tidak memungkinkan untuk melewati jalur ini saja?" tanyanya kepada salah satu dari mereka, setelah Peter memegang lengan laki-laki itu dan memaksanya berhenti.

"Memungkinkan saja kalau Mister sanggup. Puncak Bayangan tidak jauh lagi dari sini, tetapi dengan medan seperti itu terlalu berbahaya," kata laki-laki berjaket biru itu sambil mencuri-curi pandang menatap Kirana.

"Ok. Thanks," kata Peter sembari melepaskan lengannya.

Satu persatu dari mereka berjalan turun. Sementara Elizabeth, Kirana, Klaus, dan Peter masih terdiam di tempatnya.

"Bagaimana?" tanya Peter.

"Lanjutkan saja perjalanan melalui jalur ini. Kebetulan sekali, kita tidak harus bersama rombongan itu lagi," kata Elizabeth berusaha melewati beberapa batang pohon dengan akar menyembul dari dalam tanah. Tanah lembapnya terkesan licin hingga ia harus berpegangan secara spontan pada beberapa batang pohon.

Mau tak mau, Peter memegang tangan Kirana yang kepayahan karena medannya memang teramat sulit. Perlu otot tangan dan kaki yang kuat untuk bisa menaklukkannya. Dengan kondisi Kirana yang jauh dari kata sempurna, sangat terlihat betapa gadis itu mencapai titik terlemahnya.

Selangkah demi selangkah, mereka berjalan melewati jalur yang semakin ekstrim. Akar-akar pohon yang mencuat dari dalam tanah, beradu dengan bebatuan serta licinnya tanah menjadi penghalang luar biasa dalam perjalanan mereka. Pepohonan pun terlihat sangat rapat sehingga mereka juga harus berhati-hati dari goresan ranting yang tampaknya rapuh, padahal lumayan tajam jika menyentuh kulit.

Sesampainya di jalur terakhir, Kirana sudah hampir pingsan. Apalagi ketika ia tahu, bahwa jalur yang harus ia lewati merupakan jalur tebing yang harus menggunakan bantuan tali. Ada enam titik yang sudah dipasangi tali atau webbing. Dari yang setinggi satu hingga empat meter, harus ditempuh dengan bantuan tali secara vertikal.

Kirana menelan ludahnya sendiri. Tenggorokannya terlalu kering.

Satu persatu dari mereka pun naik berpegangan pada tali yang sengaja ditinggalkan oleh pendaki sebelumnya, untuk memudahkan pendaki berikutnya seperti mereka. Terjalnya jalur yang dilewati semakin menguras habis tenaga Kirana. Apalagi, dia sempat melihat beberapa bayangan berkelebat di sekitarnya ketika tengah melakukan webbing. Beberapa kali pegangannya sempat terlepas dan membuatnya meluncur turun hingga menabrak Elizabeth yang kebetulan tepat ada di belakangnya. Tubuh wanita itu terpelanting, menghantam sisi bebatuan dan menyebabkan lengannya terluka.

"Kubunuh kau nanti!" geram Elizabeth sambil memegangi lengannya yang sobek dan berdarah.

Kiranatak menggubris kalimat itu. Ia kembali berpegangan pada tali dan mencobamenjejakkan sepatunya di antara bebatuan dan tanah yang licin. Perlahan tapipasti, akhirnya ia berhasil.


***

[TAMAT] Api Unggun TerakhirOnde histórias criam vida. Descubra agora