Api Unggun Terakhir - Eps. 72

161 11 0
                                    

"Na, kamu kuat!" teriak Dirga dengan air mata hampir menetes di pelupuk matanya. Dirga dapat merasakan jantungnya seakan-akan hendak keluar dari tenggorokannya. Dadanya remuk dan perlahan hancur sehancur-hancurnya. Sakit karena terlalu marah melihat gadis itu akhirnya meregang nyawa. Satu tetes air matanya meluncur tak kuasa lagi ia tahan.

"Kirana..." ucap Al lirih. Dan tak mampu berdiri lagi. Ia berlutut menatap dua orang temannya itu.

Sejenak, tak ada kata lagi di antara mereka. Klaus tak menyangka bahwa akhirnya gadis itu mati di tangannya. Elizabeth pun kelu.

"Kau bodoh!" umpat wanita itu pada Klaus dengan kesal.

"Kau masih punya tiga orang lainnya kan untuk memikul medali itu beserta karmanya!" Klaus tak mau kalah. "Kita harus bergegas. Sebentar lagi gerhana matahari akan segera terjadi," katanya sambil mengayunkan gagang pistolnya dari belakang, tepat mengenai punggung Al dan merobohkannya.

Kenan bersiap membalas perlakuan itu, tetapi Klaus sudah menodongkan pistol padanya. Ia tak berani lagi berkutik.

Dirga dapat merasakan seseorang menarik rambutnya dan berusaha tidak berteriak saat orang itu menjambaknya. Sesaat kemudian, Paul menarik paksa tubuh Dirga agar meninggalkan Kirana yang terkulai. Elizabeth mengambil ransel di punggung Kirana dan menyerahkannya pada Jason untuk dimasukkan ke dalam Natha. Dirga yang tentu saja masih dalam kondisi syok berat hanya bisa terdiam dan menuruti Paul. Ia hanya menyentakkan tangan Paul agar melepaskannya. Pistol masih teracung padanya dan ia seolah tak peduli. Mereka berjalan beriringan dengan hati penuh luka.

"Kirana..." Al terus menggumam. Ia benar-benar terpukul, meskipun sekujur bagian belakang tubuhnya berdenyut nyeri menyakitkan.

Kenan terpaksa merangkul leher Al untuk sekadar menguatkannya.

Mereka berjalan melewati arca Siwa dan Ganesha, sebagai tanda bahwa mereka telah tiba di gerbang yang ditentukan. Tak jauh dari sana, ada sebuah tebing menjulang dengan permukaan datar dan halus. Elizabeth berlari ke arah tebing itu. Jason mengikutinya, sementara Klaus dan Paul sibuk menodongkan senjata mereka ke arah Dirga, Kenan dan juga Al.

Elizabeth dan Jason membelah semak di sekitar tebing itu. Mencari apapun yang mungkin berhubungan dengan ritual yang akan mereka lakukan. Bunyi patahan ranting beradu dengan kicau burung yang entah mengapa terbang tepat di atas mereka. Mengeluarkan bunyi-bunyi memekakkan telinga seolah sedang berteriak meminta pertolongan.

Paul bahkan menembakkan pistolnya ke udara, mencoba mengenai salah satu dari burung itu dan berharap mengusir mereka. Untuk sekian detik, ia memang berhasil. Tetapi, tak lama kemudian kawanan burung berwarna kelabu itu kembali berputar dan berkicau. "Burung sialan!" umpatnya.

Butuh beberapa saat bagi Elizabeth dan Jason menemukan tempat di mana medali-medali itu seharusnya disatukan. Ternyata ada satu batu bundar tersembunyi di balik semak, tak jauh dari tebing. Elizabeth menyeringai girang, memperlihatkan gigi putih terawat rapi miliknya. Jason tersenyum simpul dari ekor matanya yang sedikit menampakkan raut cemas. Hatinya was-was.

"Kau cepat kemari!" pinta Elizabeth sambil menunjuk Al dengan telunjuknya.

Paul mendorong Al agar segera menuruti pinta wanita itu, meskipun dia terlihat enggan.

Elizabeth mengambil alih Natha dari tangan Jason dan memberikannya pada Al. "Cepat keluarkan dan pasang medali itu di tempatnya!"

Awalnya, Al diam tak bergerak.

"Cepat lakukan! Jangan buat aku menunggu! Kau sama dungunya dengan ayahmu yang sok jagoan itu!" tandasnya.

Dada Al bergemuruh mendengar ayahnya disebut-sebut. "Tutup mulutmu! Jangan pernah menyebut ayahku dengan mulutmu yang berbisa itu!"

Elizabeth terkekeh. "Ayah dan anak sama sok jagoannya ternyata. Kau hanya tak pernah tahu, betapa ayahmu itu ternyata cengeng karena mengiba di kakiku, tepat sebelum aku menendangnya jatuh ke jurang!"

Mata Al melotot. Sungguh ia tak pernah tahu bagaimana ayahnya meninggal. Mengetahui fakta bahwa wanita itu yang menyebabkan ayahnya terbunuh, membuat darahnya mendidih. Hampir saja Al akan menghajar wanita itu, tetapi teriakan Klaus menghentikannya.

"Liz, kau harus segera memasang medali itu di tempatnya! Gerhananya sudah mulai terjadi!" pinta Klaus.

"Lakukan!" Jason memaksa Al untuk segera membuka Natha dan mengeluarkan medali-medali itu.

Dengan berat hati, Al mengeluarkan medali itu, memasangnya satu persatu di lempengan batu bundar yang dimaksud Elizabeth hingga berbentuk lingkaran utuh. Medali dengan bagian tengahnya terukir burung Garuda yang tengah memekik tegas lengkap dengan cakar-cakarnya yang tajam.

Simbol Garuda itu ada hubungannya dengan cerita Sang Garuda yang terdapat dalam Adi Parwa. Inti ceritanya adalah Sang Garuda yang mampu membebaskan dirinya dari ibunya sendiri, yakni Sang Winata dari perbudakan Sang Kadru dan anaknya. Tebusan yang diminta berupa tirta amerta yang diperolehnya dari Dewa Wisnu setelah Sang Garuda bersedia menjadi kendaraan Dewa Wisnu. Jadi, Garuda itu tidak lain adalah simbol manusia yang menari pembebasan dari perbudakan benda-benda duniawi. Apakah manusia bisa membebaskan diri dari perbudakan benda-benda duniawi? Jawabannya adalah tirta amerta. Tirta Amerta berarti abadi atau keabadian. Siapa yang tak bisa mati, hanya Tuhan jawabannya. Barang siapa yang telah mencapai Tuhan mereka, tidak lagi terikat oleh kemelekatan benda-benda duniawi ini, mereka bebas dari perbudakan benda, mereka mencapai moksa atau kebebasan. Itulah yang terjadi pada Aki Tirem berabad-abad lalu.


***

[TAMAT] Api Unggun TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang