Peluh & Darah - Eps. 60

136 9 0
                                    

Pukul setengah dua dini hari, akhirnya mereka tiba di titik 2.211 Mdpl atau patok 51 dari titik nol Bajuri. Artinya, lima koma satu kilometer yang ditempuh dalam waktu empat setengah jam. Perjalanan yang sangat lama dan menguras tenaga. Namun, mereka berhasil melewatinya meskipun sangat ekstrim.

Ada beberapa orang yang juga sudah sampai di Puncak Manik. Elizabeth tidak begitu peduli dengan orang-orang itu. Ia terlihat celingukan, mencari tempat yang dimaksud. Tak lama kemudian, dia menemukan semak-semak dengan bentuk yang mencurigakan. Dengan satu isyarat tangan, ia memanggil Peter, Klaus, dan Kirana untuk mengikutinya. Benar dugaannya, di balik semak itu ada reruntuhan batuan layaknya sedang menutupi sesuatu di dalamnya.

Darah di dalam tubuh Kirana berdesir. Angin malam terasa kian dingin menyelimuti permukaan kulitnya. Jantungnya berdebar, seolah akan ada sesuatu yang terjadi setelah ini. Namun, bibirnya terkunci rapat. Ia hanya diam berdiri, mematung, sementara Elizabeth sibuk berputar-putar mencari posisi yang tepat untuk memulai pencariannya.

Tiba-tiba, Kirana mendengar tawa beberapa anak kecil. Bahkan, dia melihat bayangan mereka tengah berlarian dan menghilang di balik pepohonan. Hembusan hawa dingin menerpa tubuhnya sekali lagi. Ia bergidik sambil memutar tubuh, mencari kemana anak-anak tadi berlari.

"Pete, keluarkan semua peralatan!" pinta Elizabeth yang sudah yakin dengan titik lokasinya. Wanita itu tengah berjongkok sambil menyentuh tanah.

Tawa anak-anak kecil itu kembali terdengar oleh Kirana. Bahkan, Kirana melihat salah satunya berlari ke balik bebatuan, tepat di belakang Elizabeth.

"Anak siapa bisa sampai di sini?" gumamnya heran. Entah apa yang membuat Kirana melangkahkan kakinya menuju asal suara tadi yang samar-samar menghilang. ia berjalan mendekati Elizabeth yang bahkan tak menggubrisnya. Wanita itu masih sibuk dengan beragam peralatan dari dalam tas yang sedari tadi dibawa oleh Peter.

Satu wajah mungil, anak perempuan muncul dari balik bebatuan itu. Dia tersenyum pada Kirana sambil melambaikan tangannya. Kirana menatapnya dan terus berjalan. Kirana tiba di balik bebatuan dan tak ada satu pun anak di sana. Hanya ada sekuntum kamboja hitam tergeletak begitu saja di tanah. Kirana terkesiap. Ia memungut bunga itu dengan tangan gemetar.

"Hey, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Klaus yang ternyata mengikutinya.

Kirana terdiam. Ia hanya memutar-mutar bunga di tangannya.

Namun, tatapan mata Klaus berubah arah tertuju pada bebatuan di balik punggung Kirana. Ia menyorot batu itu menggunakan senter di tangannya. "Liz, kau harus kemari!" kata Klaus tanpa berteriak.

Jarak yang tak terlalu jauh membuat Elizabeth mampu mendengar panggilan itu. "Nanti saja, Klaus. Aku sedang sibuk!" jawabnya.

"Kau harus kemari Liz, karena kau tidak perlu menggunakan peralatan canggihmu itu untuk menemukan medalinya!" kata Klaus lagi sambil mendorong tubuh Kirana agar minggir selagi ia terpesona menatap ke arah bebatuan yang berukiran huruf palawa.

Setengah berlari, Elizabeth dan Peter menemui mereka. Elizabeth terpana melihat satu batu besar dengan deretan huruf palawa terukir di sana. Ia melirik Kirana yang tengah menggenggam kuntum kamboja hitam di dadanya.

"Cepat artikan itu!" pinta Elizabeth sambil menarik gadis itu agar mendekat padanya, kemudian cepat-cepat melepaskan tangannya.

Kirana menggigit bibirnya yang gemetar. Ia menatap deretan huruf itu. Menarik napas panjang dan mulai bersuara. "Semua makhluk sejak lahir, oh Barata... telah disesatkan oleh dualisme pertentangan yang lahir dari hawa napsu, ketamakan, amarah, dan dengki, wahai Parantapa."

Tiba-tiba beberapa batu di sekitarnya bergerak. Bergeser dan berubah posisi.

Refleks, Kirana mundur selangkah. Diikuti oleh Elizabeth, Klaus dan juga Peter. Bebatuan itu kemudian berhenti bergerak dan memperlihatkan satu lorong gelap di dalamnya.

"Cepat masuk!" Elizabeth mendorong Kirana.

Selangkah demi selangkah, gadis itu berjalan masuk ke dalam lorong gelap dan pengap. Klaus menyinari langkah mereka menggunakan senter, sementara Peter menggunakan zippo yang selalu ada di dalam saku celananya. Tak ada apapun di lorong itu hingga Kirana sampai di ujung lorong yang di bagian tengahnya terdapat sebuah batu berukuran besar layaknya meja. Di bagian atas batu itu juga terukir huruf yang sama, tapi memiliki bunyi dan arti yang berbeda.

Tanpa diminta, Kirana mengartikan huruf-huruf itu perlahan sambil menyentuh permukaannya dengan ujung jari.

"Bagaikan api menyala, membakar kayu api menjadi abu, oh Arjuna... Api ilmu pengetahuan demikian pula membakar segala karma jadi abu," ucap Kirana.

Batu itu bergerak seperti batu sebelumnya. Hanya saja, gerakannya singkat dan hanya berupa pergeseran posisi. Ternyata, batu itu layaknya peti penyimpanan. Tepat di tengahnya pecahan medali emas melayang secara ajaib.

Peter buru-buru mendorong Kirana agar menjauh. Entah apa yang membuat pria itu tiba-tiba ingin sekali mengambil medali itu, padahal ia tahu seperti apa pantangannya. Namun, secara ajaib pula, tak ada apapun yang terjadi pada Peter ketika mengambil medali itu dengan tangan kosong. Ia baik-baik saja, bahkan ia sempat tersenyum licik. "Kita berhasil!" pekiknya girang dengan dua tangan mengangkat medali emas berkilauan itu tinggi-tinggi. Medali dengan ukiran kalimat yang berbunyi, Jadilah Air di Citarum.


***

[TAMAT] Api Unggun TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang