Teka-Teki - Eps. 23

202 11 0
                                    

Dirga kembali menekuri  jurnal ayah Al.

Menurut kitab Wangsakerta yang aku baca, konon, Aki Tirem menyembunyikan warisan kekayaan kepada anak cucunya di masa depan. Dengan seluruh kesaktian yang dimilikinya, Aki Tirem menyembunyikan gunungan emas itu ke dalam suatu dimensi gaib yang hanya bisa dibuka oleh empat kepingan medali yang jika disatukan akan memperlihatkan simbol burung Garuda pada bagian tengah. Tepat di bagian bawah cakar Garuda itu ada ukiran berbentuk seperti matahari yang sengaja diburamkan. Menurut prediksiku, matahari yang sengaja diburamkan ini adalah tanda di mana matahari tak dapat bersinar sebagaimana mestinya atau yang biasa dikenal dengan gerhana matahari total. Jadi, kemungkinan bahwa ini adalah tanda bahwa dimensi tersembunyi itu hanya akan terbuka jika medali disatukan utuh dan diletakkan pada sebuah batu besar yang tak jauh dari dua patung penjaganya, tepat ketika gerhana matahari total terjadi.

Aki Tirem berwasiat agar Dewi Pohaci mewariskan masing-masing potongan itu kepada anak cucunya yang akan memerintah Salakanagara dari generasi ke generasi. Aki Tirem mewariskan kekayaan ini untuk para cucu setiap generasinya, agar siap dalam membangun kejayaan negeri. Aki Tirem juga berpesan bahwa ia akan selalu menjaga tiap kepingannya agar sampai kepada yang berhak. Dengan sumpahnya, Aki Tirem berkata bahwa siapapun yang tidak berhak dan mengambilnya dengan niat hati yang kotor, akan menerima karma paling mengerikan sebagai balasannya.

Pada tahun 416 M, Gunung Krakatau di Nusa Api meletus dan mengubur sebagian dataran Banten sehingga sedikit sekali petunjuk tentang keberadaan kerajaan Salakanagara. Kisah legenda tentang gunung emas yang hanya dapat dibuka dengan kunci berupa medali warisan karuhun Aki Tirem juga turut menghilang. Berdasarkan fakta yang kutemukan, empat kepingan medali itu ada di tangan Aswawarman, Dewi Minawati, Dewi Indari, dan Dewawarman IX. Setiap kepingannya berisi kalimat dalam bahasa sansekerta yang salah satunya telah ditemukan pada 1808 silam di Banten dan berada di balai lelang Christie's tahun 2015 lalu. Pemerintah Indonesia sedang berupaya untuk mendapatkan artefak itu kembali, tetapi sayang artefak itu tiba-tiba menghilang begitu saja.

Kalimat yang terukir pada artefak tersebut berbunyi Jadilah Angin di Swarnadwipa milik Dewawarman IX. Arti dari Swarnadwipa adalah Sumatera yang dikaitkan dengan Kerajaan Brawijaya. Awalnya, aku sempat bertanya-tanya, apa hubungan Salakanagara dengan Brawijaya. Setelah kutelusuri, aku menemukan fakta mencengangkan mengenai Aki Tirem yang benar-benar mampu meramalkan masa depan anak cucunya.

Dewawarman VIII ngarundaykeun sababaraha urang putra. Nu cikal istri nya eta Iswari Tunggal Pertiwi Warmandewi, disebut oge Dewi Minati. Nu kadua, pameget ,nya eta Aswawarman, nu dirorok ti orok beureum keneh ku Sang Kudungga, raja Bakulapura,Kutai. Apan istri Dewawarman VIII nu kadua mah,ibuna Aswawarman, Dewi Candralocana, putri Sang Kudungga ti karaton Bakulapura. Putra nu katilu, istri deui, jenengan Dewi Indari, nu engkena ngajodo ka Maharesi Santanu, raja Indraprahasta (Cirebon kidul). Putra Dewawarman nu kaopat, ngalih ka Swarnadwipa (Sumatera), ngarundaykeun raja-raja Sriwijaya, di antarana Adityawarman.


Dirga menatap Al karena merasa tak mampu menerjemahkan arti dari setiap kalimat yang tertulis dalam bahasa Sunda di buku itu.

"Dewawarman VIII menurunkan beberapa orang putra. Yang sulung perempuan, yaitu Iswari Tunggal Pertiwi Warmandewi, disebut juga Dewi Minati. Yang kedua, lelaki, yaitu Aswawarman, yang diasuh sejak masih bayi merah oleh Sang Kudungga, Raja Bakulapura, Kutai. Istri kedua Dewawarman VIII itu adalah ibunda Aswawarman, Dewi Candralocana, putri Sang Kudungga dari keraton Bakulapura. Putra yang ketiga, lagi-lagi perempuan, bernama Dewi Indari, yang kelak berjodoh dengan Maharesi Santanu, Raja Indraprahasta dari Cirebon Selatan. Putra keempat Dewawarman, hijrah ke Swarnadwipa atau Sumatera, menurunkan raja-raja Sriwijaya, antaranya Adityawarman," jelas Al begitu fasih.

Kening Dirga mengernyit. "Setahuku kamu bukan orang Sunda, deh."

"Emangnya kalau bukan Sunda, nggak boleh ngerti bahasa Sunda gitu?" ucap Al bernada skeptis. "Indonesia itu kaya budaya, Ga. Jangan hanya kamu bukan berasal dari satu adat dan nggak ikut memiliki budaya itu, jadi bikin kamu cuek dan nggak mau memahami apa yang dimiliki suku lain. Miris sih memang, karena faktanya memang banyak orang Indonesia yang cuek dengan budayanya. Jangankan budaya suku lain yang ada di tanah yang sama, budaya sukunya sendiri aja kadang nggak ngerti," cerocos Al.

"Iya, bawel!" ujar Dirga yang kembali membaca jurnal ayah Al.


***

[TAMAT] Api Unggun TerakhirWhere stories live. Discover now