Murka Leluhur - Eps. 10

269 18 1
                                    

Desa Bumi Cempaka - Pandeglang, Banten

27 Februari 2016

Jemari lentik Kirana begitu lihai memainkan penanya membentuk deretan huruf Palawa, di selembar kertas putih. Pandu, adik kandungnya, sedari tadi hanya bisa menatap huruf yang aneh di matanya itu penuh penasaran.

"Teh, diajarin siapa sih bikin huruf kayak gitu?" tanya Pandu dengan celoteh polosnya. Tubuhnya hampir setinggi meja yang sedang digunakan Kirana. Kakinya bahkan harus berjinjit, agar ia bisa melihat keseluruhan tulisan kakaknya. Kedua tangan berpegangan erat pada pinggiran meja kayu jati yang warnanya menghitam, tua seiring dengan waktu.

Kirana tersenyum sambil menghentikan gerakan jemarinya di atas kertas itu. "Kakek," jawabnya singkat.

"Pandu mau juga dong, Teh diajarin!" rayu bocah itu dengan mata berbinar.

"Tetehmu ini pasti nanti akan mengajarkanmu betapa cantiknya huruf-huruf Palawa itu. Tapi, tidak sekarang Pandu, karena kita harus pergi ke sekolahmu untuk menghadiri undangan rapat wali murid. Rapat yang entah mengapa begitu penting, hingga harus meliburkan siswanya," dengus Kakek Tubagus Maulana yang tiba-tiba muncul dari arah dapur.

Setengah jam kemudian, Kirana sudah berada di sekolah adiknya. Ia duduk bersebelahan dengan kakeknya untuk menghadiri rapat wali murid dari sebuah sekolah di desa terpencil yang terletak tak jauh dari kota Pandeglang, Banten. Tak ada hal lain yang membuat Kirana bahagia ketika pulang liburan seperti ini, selain menghabiskan waktu bersama adik dan juga kakeknya. Meskipun harus mengikuti acara sekolahan yang bangunannya terlihat carut marut di setiap sisinya karena kurang terawat. Namun, hanya ini pilihannya agar Pandu bisa terus bersekolah.

Ruangan kelas yang sederhana itu sudah dipenuhi oleh beberapa orang guru, pengurus yayasan beserta kepala sekolah serta para orang tua wali murid, termasuk Kirana dan kakeknya.

"Apakah sudah tidak ada pilihan lain, Pak? Tolong dipikirkan sekali lagi untuk mempertahankan sekolah ini," ujar salah seorang pria yang dikenal Kirana bernama Zaenal. Ia adalah ayah Dadang, sahabat Pandu.

"Maaf Pak, seperti yang sudah kami jelaskan di awal tadi bahwa keputusan ini dengan berat hati harus kami pilih. Karena sudah tiga tahun terakhir sekolah ini selalu kekurangan murid. Saya pun sudah memprediksi bahwa ini semua akan terjadi, ketika banyak gedung sekolah negeri didirikan di kecamatan ini, kemudian ditambah dengan banyaknya sekolah swasta yang tumbuh seperti jamur di musim penghujan. Ruang gerak kita pun akhirnya semakin sempit," jelas Pak Prayoga selaku ketua yayasan sekolah.

"Kalau pihak yayasan berencana menutup sekolah ini, lalu bagaimana dengan nasib anak-anak, Pak? Apa Bapak tidak memikirkan mereka? Bagaimana dengan nasib para guru honorer yang juga ada di sini?" tanya Kirana menyambung pertanyaan Pak Zaenal.

"Mohon maaf, tapi kami benar-benar sudah tidak memiliki pilihan apapun. Sejak sekolah ini kekurangan murid, otomatis beberapa aset yang dimiliki sekolah ini sudah bukan lagi menjadi milik sekolah tetapi milik yayasan. Pak Prayoga sekarang yang bertanggungjawab atas semuanya. Dan sekedar informasi saja bahwa tempat ini nantinya akan diganti menjadi resort," terang Pak Djaka, selaku kepala sekolah.

"Tidak bisa begitu dong, Pak! Bapak tidak boleh bertindak layaknya kapitalis seperti ini!" protes Pak Zaenal geram sambil menggebrak mejanya sambil berdiri dengan tatapan penuh amarah.

Beberapa orang wali murid lainnya pun seperti tersulut emosi yang sama. Mereka saling berteriak dan memprotes putusan itu.

"Semuanya saya harap tenang!" pinta Pak Djaka berusaha meredakan emosi hingga akhirnya mereka terdiam, ketika mendengar jeritan dari luar kelas. Momen ini digunakan Pak Prayoga untuk melarikan diri agar terhindar dari amukan para wali murid itu.

"Kek, itu seperti suara Pandu!" ujar Kirana panik. Ia pun bergegas keluar ruangan untuk mencari adiknya. Ternyata bocah itu ada di tengah lapangan dalam keadaan meronta-ronta dan berteriak histeris. Beberapa anak lain yang ada di sana, bertingkah sama seperti Pandu. Mereka berteriak tak keruan. Beberapa wali murid dan guru berusaha memegang mereka. Pun Kirana yang berusaha mendekap Pandu, meskipun terus mengerang dan meronta.

Tubagus Maulana, kakek Pandu  juga berusaha memegang bahu bocah itu dan mulutnya mulai berkomat kamit. "Cicing sia?" kata kakek Tubagus Maulana sambil mencengkeram wajah Pandu yang seketika berhenti meronta. Bocah itu hanya diam, tetapi raut wajahnya menunjukkan ekspresi penuh kemarahan. "Saha maneh?" lanjutnya.

"Aing nu ngageugeuh dieu! Kami moal cicingeun!" suara Pandu terdengar lebih berat dari biasanya disertai dengan suara mendesis tidak wajar.

"Enya. Kami oge moal cicingeun sok ayeuna kaluar! Karunya kanu ragana."

"Geura tandang, kudu ludeung ngajungjung indung Bumi," kata Pandu yang kemudian tiba-tiba tak sadarkan diri.

Kakek Tubagus Maulana pun segera mengusapkan air yang ia terima dari salah seorang guru, ke wajah Pandu. Bocah itu akhirnya terlihat lebih tenang, perlahan matanya terbuka. Kakek Tubagus Maulana meletakkan tubuhnya untuk segera diangkat ke tempat yang lebih nyaman. Sementara ia mengajak Pak Djaka sedikit menjauh dari tempat itu.

"Anda tahu tempat apa ini ribuan tahun yang lalu?" tanya kakek Tubagus Maulana.

Pak Djaka menggeleng pelan dengan raut cemas. "Saya hanya tahu, bahwa bangunan ini dulunya bekas markas Belanda yang kemudian dibangun menjadi sekolah."

Kakek Tubagus Maulana tersenyum simpul. "Jauh sebelum itu, ribuan tahun sebelum itu. Lokasi ini adalah tempat berdirinya salah satu kerajaan tertua di negeri ini. Anda harus ingatkan orang-orang itu agar tak terjadi hal-hal lain di luar kuasa kita," jelasnya yang membuat Pak Djaka bergidik.


***

[TAMAT] Api Unggun TerakhirWhere stories live. Discover now