17. Diskusi untuk Festival Sekolah

434 68 16
                                    

(DILARANG PLAGIAT)

*****

"Jadi, semuanya dengerin, festival sekolah bakalan diadain sebentar lagi. Hasil dari rapat gue kemarin pihak sekolah dan OSIS sepakat kalau setiap kelas wajib mementaskan satu penampilan. Penampilannya bebas asal yang sopan dan masuk akal aja. Nah, untuk menambahkan meriah acaranya setiap kelas boleh bikin satu kreatifitas, misalnya jualan, bikin rumah hantu di kelas, pameren, atau yang lain-lainnya asalkan bisa membuat menarik para pengunjung."

Saat bel istirahat berbunyi, Majid dengan cepat menahan teman sekelasnya agar tidak segera bergegas menuju ke kantin untuk membicara perihal festival sekolah. Saat ini Majid sedang berdiri di depan kelas—menerangkan hasil rapatnya kemarin.

"Oh, ya udah, yang mau berkontribusi silakan berdiskusi. Gue mah ogah, laper nih, Jid, belum sarapan gue," Hopid—laki-laki yang duduk di bagian tengah mengeluh.

"Tunggu dulu bentar, kalau semuanya ikut berdiskusi enak, biar pada paham," jawab Majid.

Hopid mengembuskan napas lelah.

"Nah jadi mau gimana? Kelas kita mau tampilin apa dan buat kreatifitas kelasnya mau gimana?" tanya Majid.

Teman-teman sekelasnya mulai saling berdiskusi. Ada yang memikirkan menampilkan tari tradisional, dance, drama, stand up comedy, nyanyi, dan lebih baik jangan menampilkan apa-apa—pikiran dari kubu nggak mau ribet dan ogah urusin beginian.

"Tari tradisional gimana?" saran seorang perempuan berambut sebahu yang memakai bando—Ghina.

"Jid, buat acara festival kan biasanya per kelas ditagih iuran buat nambah-nambah biaya. Sekarang ditagih lagi nggak?" tanya Lita.

Majid mengangguk. "Iya, kayak biasa seratus ribu per kelas."

Lalu Lita menoleh ke arah Ghina. "Menurut gue, Ghin, mending jangan tari tradisional deh. Kalau tampilin tari tradisional harus keluar banyak uang banget. Kalau misalnya kita nari nih, nari jaipong atau tari kecak, kita harus sewa bajunya kan ke sanggar? Sewa baju nggak murah, gue kasihan aja harus keluar uang banyak banget."

"Nah betul tuh, yang lain ajalah. Lagian kalau tari tradisional cowok-cowok mana mau ikut tampil. Gengsi, nanti gebetan gue illfil!" Dodi menyahut dari ujung. Cowok ini sepertinya tidak tahu bahwa tari tradisional ada juga bagian cowok yang terlihat gagah sampai-sampai pemain basket aja sepertinya akan kalah kharismanya.

Ghina menghela napas pelan tanda pasrah dan agak kecewa karena pilihannya tidak mendapatkan setuju.

"Kalau dance gimana?" tanya Farida.

"Gue tanya sama kalian kaum jantan. Lo pada suka nge-dance kagak?!" teriak Koko. Sebagian cowok-cowok menggeleng dan serempak menjawab. "NGGAK!"

"Far, cowok-cowok di kelas kita kagak demen sama nge-dance banci gitu. Sukanya goyang organ tunggal," ujar Koko membuat teman-temannya tertawa. Aji yang duduk satu bangku dengan Koko mendengus sebal mendengarnya. Koko sempat meliriknya sinis. Semenjak kemarin mereka belum mengobrol satu sama lain.

Farida mencebikkan bibirnya kesal dan menggerutu tidak jelas bisa-bisa cowok nge-dance dibilang banci.

"Jadi mau apa? Gue usulin jangan tari-tarian deh kalau gitu, kalau bisa yang ada cewek cowoknya biar adil," tutur Majid.

"Drama-drama! Gimana?"

"Harus bikin naskahnya dulu, terus emangnya kalian mau ngehapalin naskah?"

"Kan kita record dulu suaranya."

"Tapi tetep kan harus ngapalin naskah biar mulut sama rekaman selaras. Emang lo pada, kalau drama mau ngehapalin naskah?" tanya Koko lagi.

Kinara: Love YourselfWhere stories live. Discover now