(5) "Kalian berdua, aku ingin bicara serius."

98 30 157
                                    

Mikazuki Tora

Kata kunci: mimpi

~Twin Secret~

"Kiyotaka-san, tolong turunkan aku di depan gerbang saja," pintaku saat pagar utama Tokyo High sudah di depan mata. Setelah diabaikan sepanjang perjalanan dengan dua orang autis ini (ya, aku anggap saja mereka autis) akhirnya aku bisa lega karena neraka ini akan berakhir.

Entah sejak kapan, alunan musik di mobil sudah berganti menjadi musik klasik. Tachibana-san juga sudah duduk manis dan tampak berkilauan. Mereka benar-benar tanpa cela. Kalau tidak salah, mereka mulai bertransformasi sejak lampu merah terakhir.

Mendengar permintaanku, Kiyotaka-san justru menyeringai. "Kenapa aku harus melakukannya? Itu akan membuatku terkesan jahat."

Orang ini sadar tidak sih, kalau mereka sudah jahat dari dulu?

"Tora-kun, turun saja di lapangan parkir kelas kami. Rasanya enggak terlalu jauh, deh," sahut Tachibana-san dengan lembut. Dia sangat tidak sopan, karena memanggil namaku tanpa izin seperti ini.

"Tidak, mau! Turunkan saja aku di sini!"

Mobil mendadak berhenti, kalau aku tidak pakai sabuk pengaman, dijamin kepalaku sudah terjedot ke kaca mobil yang super kinclong. Kiyotaka-san lagi-lagi menoleh padaku dengan senyum manis yang terlihat seram. "Tora, kau ini sangat tidak tahu sopan santun, ya? Jika ini maumu, ya sudah. Turun di sini."

"Sungguh?" Aku tercengang menatapnya, yang hanya dibalas dengan Kiyotaka-san yang membuka kunci mobil. Karena takut Kiyotaka-san akan berubah pikiran, tanpa pikir panjang aku membuka sabuk pengaman dan keluar dari mobil.

"Tora-kun! Kami sudah memaafkanmu, jadi tenang saja."

Sayangnya, aku gagal memahami situasi. Mobil Porsche Kiyotaka-san berhenti di tengah jalan utama setelah melewati gerbang. Artinya, banyak orang yang lalu-lalang. Entah sejak kapan Tachibana-san sudah membuka pintu kaca lebar-lebar dan meneriaki hal yang membuatku sangat bingung. Sebelum aku sempat merespons, mobil itu sudah berlalu. Meninggalkanku berdiri sendirian, dengan seluruh tatapan orang-orang. Detik itu juga, aku mengerti kenapa Kiyotaka-san menurunkanku.

Bisikan-bisikan tak nyaman mulai menggelitik telinga. Saat aku menoleh, orang-orang akan memalingkan muka. Tanganku terkepal erat, lalu kutarik napas dalam-dalam. Tidak, aku tidak boleh marah atau mengamuk. Aku harus diam saja. Sabar, Tora. Semua ini akan berlalu.

Dengan mengabaikan tatapan orang-orang, aku berjalan cepat menuju gedung Kelas Atlet, mengganti sepatu hanya untuk lanjut ke toilet, alih-alih kelas. Belum selesai kasus kemarin, aku hanya bisa menunggu sampai orang-orang akan salah mengartikan kalimat Tachibana-san tadi.

Air dingin kubasuhkan ke muka untuk mendinginkan kepalaku yang panas. Kutatap pantulan wajah sendiri di cermin besar, memperhatikan bagaimana air menetes-netes lewat dagu. Aku pernah dengar, dalam mengejar mimpi selalu ada rintangan. Aku tak boleh membiarkan ini menyeretku jatuh.

Saat aku mengelap muka dengan telapak tangan, pintu toilet terbuka. Seseorang yang tinggi dan berkulit cerah masuk. Rambutnya yang dipotong pendek dan rapi membuatku langsung tahu itu siapa.

"Lho, ternyata Tora-kun."

"Selamat pagi, Takeru-kun."

Setelah saling menyapa, Takeru-kun berjalan menuju salah satu toilet berdiri, sedangkan aku membasuh muka sekali lagi. Aoba Takeru, satu-satunya orang yang kuakui sebagai saingan. Tahun lalu dia peringkat lima, sedangkan aku mendapat perunggu. Dia salah satu yang perkembangannya cukup pesat, dan ditaksir sebagai salah satu calon medalis.

Twin SecretWhere stories live. Discover now