(38) terimakasih Kenan

2.4K 144 47
                                    


Terkadang kita harus belajar merelakan, walaupun sebenarnya itu menyakitkan

****

Fikirannya menembus dimensi dimensi lain, keringat dingin terus bercucuran membasahi wajahnya. Ekspresi ketakutan itu terus menghantui dirinya, genggamannya semakin mengerat kala seseorang mencoba mendekat seraya melempar tatapan memelasnya.

"Lawan Arin, lawan",samar-samar suara lembut milik dokter psikiater itu memasuki indra pendengaran Arin. Nafasnya memburu,

"Kenapa lo tega rin, salah gue apa?",wanita di depannya terisak keras. Keadaan acak acakan serta lebam di area pipinya, menandakan bahwa wanita itu habis di bully dengan keji.

"Tolong rin jangan ganggu gue, salah gue apa Arin. Biarin gue tenang!"

"Bukan, bukan gue. Percaya sama gue, bukan gue",Risha mengeratkan genggamannya pada Arin. Ia tidak tau apa yang dirasakan Arin sampai Arin seperti ketakutan. Mata Arin terpejam, namun tubuhnya bergerak tak tenang.

Lelaki dengan jaket army itu muncul dari ambang pintu. Oma mengisyaratkan untuk perlahan mendekati Arin, mengambil alih posisi Risha saat itu,"ikuti semuanya Arin, lawan ketakutan kamu"

"Coba fikirkan apa yang membuat kamu menjadi seperti ini, kembali ke dimensi masa lalu. Tarik nafas pelan-pelan, lalu hembuskan"

Arin mengikuti perintah dokter tersebut, dadanya terasa sedikit sesak.  Arin mencoba untuk tenang, mencoba melawan seluruh ketakutan yang datang,

Terlihat Leon dengan amarah yang memuncak. Kilat amarah tercetak jelas di matanya. Pria paruh baya itu menahan emosinya saat Arin menatapnya dengan takut,"papa? Papa kenapa marah? Papa marah ya?", Arin menatap takut sang ayah.

"Risha mana pa? Kok enggak pernah keliatan? Arin kangen loh"

"Papa kok gak jawab? Aku boleh gak ketemu Risha?"

"Risha dimana sih pa?"

"DIAM KAMU!",Arin tersentak kaget. Tubuhnya gemetar kala sang ayah tiba tiba menghempas kasar tangannya. Arin menjauh, ia takut dengan ayahnya saat itu.

"Anak bodoh!, Kamu tau anak bodoh seperti apa? Seperti kamu!"

"Papa gak gitu!!!",kali ini Arin berteriak histeris. Ia mencoba melepaskan genggaman hangat seseorang yang baru saja datang tadi. Keringat sudah membanjiri tubuhnya. Memori lamanya berputar kembali, bahkan Arin sama sekali tidak mengingat kejadian kejadian itu. Kejadian kejadian mengerikan yang baru ia ingat sekarang, berkat dokter psikiater ini.

Dengan mata yang masih terpejam, Arin memeluk lututnya sendiri. Tubuhnya gemetar ketakutan,"Aku takut", ucapnya lirih.

"Dok udah dok, jangan di lanjutin lagi. Besok besok lagi",ucap Oma khawatir. Dokter yang di ketahui bernama Dinda itu mengangguk seraya tersenyum.

"Arin, dengarkan saya ya",dokter Dinda memeluk Arin dengan tenang.

"Tarik nafas, hembuskan. Lakukan berulang ulang. Coba rileks,tenang. Buka mata kamu, disini gak ada apa apa"

Arin menggeleng cepat,"disini gak ada apa apa, buka matanya pelan pelan ya", dokter Dinda melepaskan pelukannya pada Arin, membiarkan cewek itu beradaptasi kembali dengan keadaannya yang sebenarnya.

ClarinthaWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu