33. Akhir Segalanya

71.3K 3.4K 234
                                    

 "Pak bagaimana keadaan istri dan anak saya?"

Satria menungu dengan cemas menanti jawaban dari dokter yang hanya diam dengan menghela nafasnya.

Dokter mengajak Satria untuk berbicara di ruangannya membuat Satria menjadi semakin merasa takut, segala pemikiran negatif terus bersarang diotaknya.

Dan ternyata yang menjadi dugaannya benar adanya saat dokter mengatakan jika anaknya tidak bisa diselamatkan. 

Dunia Satria benar-benar runtuh anak yang menjadi harapan satu-satunya harus meninggalkannya juga, lalu harus bagaimana lagi satria bertahan.

Satria menitikkan air matanya, hancur sudah harapannya untuk melihat anaknya lahir di Dunia, bermain bersama, memanggilnya papa hancur sudah akibat kesalahannya sendiri.

Sekarang ditambah dengan berita jika Putri kemungkinan besar lumpuh akibat benturan saat jatuh terduduk. Saraf kaki yang ada di tulang ekor Putri mengalami kerusakan, dokter belum bisa memastikan apakah kelumpuhannya permanen atau bisa disembuhkan dengan terapi.

Satria terdiam menangisi segala yang terjadi pada dirinya, sungguh Satria sangat menyesali perbuatannya.

Kenapa dirinya tidak bisa mengontrol gerakannya yang mengakibatkan Putri terjatuh dan membuatnya kehilangan buah hatinya.

Padalah tinggal beberapa bulan lagi ia bisa meliat anaknya lahir di Dunia, Satria ingin marah kepada Tuhan.

Tapi apakah dirinya berhak marah jika ini adalah buah dari hasil perbuatannya sendiri, dulu Tuhan begitu baik padanya meski dirinya bukan orang yang taat.

Dokter menenangkan Satria dengan memegang pundaknya, "Saya tahu sekarang bapak terpukul karena kehilangan buah hati bapak, tapi lebih baik bapak menemani istri bapak yang pasti lebih tertekan sekarang."

Satria beranjak dari ruangan Dokter dan berlalu menuju ruang rawat Putri, Satria bisa melihat Putri masih belum sadar mungkin efek dari bius yang belum hilang betul.

Satria memutuskn untuk duduk di samping ranjang Putri, memegang tangan Putri dan menggumamkan kata maaf berkali-kali.

Air mata Satria kembali turun hingga mengenai tangan Putri yang dia genggam, hingga tangan Putri menunjukkan pergerakan.

Satria menatap kearah wajah Putri dan melihat dengan perlahan mata Putri terbuka, Satria segara menekan tombol memanggil dokter guna memeriksa Putri.

Setelah itu seorang dokter dan suster masuk kedalam ruangan Putri, dan setelah mengecek jika semuanya baik-baik saja mereka meninggalkan ruangan itu untuk memberikan waktu pada dua orang tersebut membicarakan kondisi Putri.

Satria kembali mendekat mendudukkan diri di samping Putri, Satria ingin menjelaskan keadaan Putri tapi dirinya juga bingung harus memulai dari mana. Karena berita yang akan dia sampaikan tidak ada satupun yang berisi berita baik.

Satria masih sibuk dengan pemikirannya, Putri sudah lebih dulu membuka suara. 

"Kenapa perutku rata? Apakah dia sudah lahir?"

Satria menggeleng menjawab pertanyaan Putri, membuat Putri kembali mengernyitkan dahinya bingung.

Karena sekarang Putri tidak merasakan pergerakan diperutnya, selain itu perutnya juga berubah menjadi rata. 

"Tuhan punya rencana untuk dia, Tuhan melindungi dia dari orang tua yang buruk seperti kita." Satria berhenti sejenak untuk melanjutkan kalimatnya karena dada Satria sesak menahan tangis kehilangan anaknya.

"Tuhan juga tidak ingin dia mengalami hal buruk akibat perilaku orang tuanya."

Putri masih mencerna setiap kata yang dikeluarkan dari bibir Satria, hingga satu kemungkinan muncul di hati Putri membuat Putri memastikan jika pemikirannya benar.

"Jadi dia meninggal?"

Tak ada lagi yang keluar dari bibir Satria, Satria hanya mampu menganggukkan kepalanya guna menjawab pertanyaan Putri. 

Putri diam sejenak ada perasaan sedih di dalam hatinya tapi hanya sesaat karena selanjutnya perasaan lega lah yang mendominasi hatinya. 

Lega karena anaknya tidak akan menderita seperti dirinya karena hidup dalam kemiskinan karena Satria jatuh bangkrut, lega juga akhirnya jika dia bebas pergi meninggalkan Satria tanpa beban sedikitpun.

"Syukurlah, setidaknya dia tidak akan merasakan hidup miskin karena ayahnya jatuh bangkrut."

kalian tahu rasanya jika kita terluka dan terkena garam walaupun hanya sedikirt tetap saja menimbulkan rasa perih bukan. Seperti itulah yang dirasakan Satria saat ini, mungkin Tuhan mengambil dia karena tidak ingin dia menderita akibat kebodohan ayahnya.

Keduanya sama-sama terdiam, hingga Putri bertanya dengan panik kepada Satria.

"Kenapa kakiku tidak bisa digerakkan?" Putri menatap wajah Satria dengan cemas dan takut.

Sedangkan Satria bingung harus bagaiaman ia menjawab pertanyaan Putri, Satria hanya diam membuat Putri merasa sangat marah sekarang.

"Kakiku baik-baik sajakan kak? jawab aku kak? JANGAN HANYA DIAM SAJA!" Putri berteriak menunggu jawaban dari Satria, sungguh saat ini Putri ketakutan jika apa yang dipikirkannya menjadi kenyataan. 

"Kakimu lumpuh, karena saraf yang ada di tulang belakang mu mengalami kerusakan karena jatuh terduduk, Maafkan aku." Satria mengatakannya dalam satu kali tarikan nafas. 

"Tidak, kakak berbohong, aku tidak mau jadi orang cacat!" Putri enggan mempercayai kalimat yang dia dengar dari bibir Satria.

Putri dengan nekat turun dari ranjang tanpa bisa dicegah, membuat Putri jatuh terduduk karena kakinya tidak berfungsi.

Putri berteriak histeris memukuli Satria dan menangis meraung-raung, merasa bersalah atas apa yang terjadi pada Putri Satria memeluk Putri berusaha menenangkannya dengan membisikkan kata-kata penenang untuk Putri.

"Maafkan aku, kita akan melaluinya bersama."

Mendengar penuturan Satria Putri semakin marah, karena Satria lah Putri lumpuh. Putri meluapkan amarahnya dengan memukuli Satria dengan sekuat tenaga.

Sedangkan Satria hanya diam saja menerima pukulan Putri, Satria berharap dengan begitu Putri bisa merasa lebih tenang.

"Kenapa harus aku yang lumpuh, kenapa bukan kau saja yang lumpuh." 

Amukan Putri semakin tak terkendali, ditambah dengan teriakan-teriakan yang menyebabkan Dokter dan Suster masuk kedalam ruangannya Putri.

Melihat keadaan yang tidak baik-baik saja membuat dokter menyuntikkan obat penenang untuk Putri.

Perlahan-lahan Putri menjadi tenang dan tertidur, dokter memberikan semangat kepada Satria untuk menghadapi istrinya karena istrinya tentu lebih merasakan sakit dibandingkan dengan Satria.

"Saya harap bapak bersabar, Tentu saja sulit menerima kenyataan jika kita menjadi seperti ini, bapak boleh saja sakit menerima perilaku istri bapak. Tapi tentu saja lebih sakit apa yang dirasakan Istri bapak." 

Sepeninggal dokter Satria jatuh terduduk, menangisi keadaannya menjadi kacau. Tidak terbayangkan oleh Satria jika balasan karena menyakiti hati setulus Kinanti akan semenyakitkan ini.

Sungguh saat ini Satria merasakan sakit dan kehilangan yang teramat dalam, mungkinkah rasa sedih dan kehilangan ini semepat dirasakan oleh Kinanti.

Tuhan mungkin hanya ingin Satria tahu bagaimana perasaan sakit yang dirasakan Kinanti dulu, yang dia hancurkan dengan sengaja.

Menoleh sebentar kearah ranjang Putri setelah itu Satria meninggalkan ruangan Putri, kakinya melangkah tanpa arah dan tujuan.

Hingga tanpa sadar kakinya berhenti di depan masjid, Satria melihat bangunan dihadapnnya dalam diam. Mengingat sudah berapa lama ia tidak lagi menjalankan kewajibannya sebagai hamba.

Satria memutuskan untuk mencurahkan isi hatinya dengan Penciptanya, memohon ampun, dan memohon kekuatan untuk melalui segala cobaan ah bukan cobaan lebih tepatnya hukuman atas segala tindakannya.

***"***
Hai hai semuanya mau nepatin janji nih buat double update 😁
Semoga kalian suka ya
Terima kasih sudah baca dan selalu ninggalin komentar yang bikin aku semangat
Maafkan kalau ada typo dan alurnya gak jelas ya
Makasih ya ❤

Blutiger (complete√)Where stories live. Discover now