34. Dua Sisi

65.1K 3.3K 99
                                    

Satria terbangun, mendengar suara gaduh meregangkan otonya yang terasa kaku karena semalam ia tertidur di sofa ruang rawat Putri.

Ketika kesadarannya sepenuhnya terkumpul dia terkejut melihat Putri yang sudah duduk di lantai dengan selang infus yang terlepas dari tangannya membuat darah mengalir dari sana.

Satria berlari menghampiri Putri dan berusaha membopong putri kembali di atas ranjang namun tangannya ditepis oleh Putri.

Satria mencoba bersabar, mengambil handuk untuk mengentikan pendarahan yang terjadi di tangan Putri. Lagi-lagi usahanya ditepis dengan kasar oleh Putri.

Satria hanya diam memperhatikan Putri, Satria akan menunggu hingga Putri tenang dan menerima bantuan darinya.

Tapi tiba-tiba saja Putri terbahak-bahak, membuat Satria mengernyit bingung dengan tingkah Putri. Karena tidak ada yang lucu menurutnya.

"Aku ingin hidup menjadi putri sungguhan yang menjadi permaisuri raja di Istananya bukannya menjadi Putri yang cacat."

Satria hanya diam mendengarkan Putri mengeluarkan segala yang memenuhi pemikiran Putri, berharap setelah ini Putri bisa menjadi lebih tenang.

"Kenapa keberuntungan selalu berpihak kepada Kinanti, Lepas dari kakak dia mendapatkan tangkapan yang lebih kaya."

Putri kembali tertawa lalu dengan tiba-tiba Putri menjadi menangis sesenggukan dan berteriak-teriak.

"Jika aku cacat bagaimana aku bisa menjadi tuan Putri."

Satria tidak mengerti dengan segala perilaku yang terjadi dengan Putri karena sebentar Putri bisa tertawa terbahak-bahak lalu di menit berikutnya Putri bisa menangis sangat keras.

Satria memutuskan untuk memanggil dokter karena amarah Putri sudah tidak bisa di kontrol lagi.

"Sebaiknya bapak berkonsultasi dengan Psikiater, saya rasa istri bapak membutuhkan pendampingan dari ahlinya."

Satria sudah tidak memiliki kekuatan untuk sekedar menjawab otak dan hatinya benar-benar lelah, bahkan tubuhnya sudah kurus tak terawat.

Hingga pada akhirnya Satria membawa Putri ke salah satu rumah sakit jiwa, tentu saja dengan keadaan setelah di suntik obat penenang.

Karena setiap Putri sadar dia akan menjadi mengamuk dan cenderung untuk melukai dirinya sendiri atau orang lain dengan melemparkan barang yang berada di jangkauannya.

Satria menunggu dokter untuk menangani Putri, entah bagaiman cara nya Satria juga tak tahu pasti dia hanya mempercayakannya kepada Dokter yang ada.

Namun ternyata hasilnya tidak bisa langsung diputuskan oleh dokter, membuat Satria harus menunggu selama dua minggu.

Karena dokter juga perlu melakukan pendektan dan mengobservasi lebih lanjut terhadap Putri.

Satri meninggalkan rumah sakit jiwa yang merawat Putri, dia melajukan mobilnya menuju rumah orang tuanya.

Dia akan meminta maaf tak perduli dirinya nanti akan ditolak seberapa parah tidak masalah, Satria akan terus meminta maaf sampai dia dimaafkan.

Sesampainya di rumah kedua orang tuanya Satria melihat Papihnya sedang membaca koran di depan rumah dengan maminya tengah merawat bunga mawar  kesayangan maminya.

Satria keluar dari mobilnya, Satria melihat raut wajah papinya berubah menjadi tegas dan marah, dan maminya melihatnya penuh dengan kerinduan tetapi kekecewaan lah yang paling mendominasi.

"Buat apalagi anda kesini? Bukankah anda lebih memilih wanita itu daripada orang tua yang merawatmu?"

"Maaf pih, mih..... maafkan Satria."

Blutiger (complete√)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang