66; jeno

3K 262 4
                                    

Bukan flu, demam, maupun asma. Penyakit yang diderita Jeno selama bertahun-tahun adalah penyakit mental yang berhasil membuatnya ingin segera mengakhiri hidup.

Jeno berulang kali meneleponmu ketika kamu masih terlibat dalam kelompok kerja fisika. Kamu akhirnya menerima panggilan itu dan datang ke halaman belakang studio foto setelah teman-temanmu melepasmu pergi. Jeno hanya berkata bahwa ia tidak ingin menikmati malam sendirian bersama sekaleng cola yang sama dinginnya dengan udara malam itu.

"Bergelut dengan hukum Newton lagi? Atau menciptakan sesuatu yang baru karena penelitian yang dulu dirasa tidak masuk akal?" tanya Jeno sambil membuka kaleng cola.

Kamu mendesah. Udara dingin keluar dari mulutmu. "Kenapa memanggilku kalau tahu sedang sibuk?"

"Apa aku peduli dengan kesibukanmu?" Jeno menenggak cola-nya.

"Tapi kamu selalu tahu apa yang membuatku sibuk."

Kamu melihat tangan lelaku itu terhiasi goresan-goresan luka yang masih berwarna merah segar, seperti baru terkena cakaran atau semacamnya.

"Apa yang terjadi? Ada sesuatu?" tanyamu sebelum menenggak cola.

Jeno berdecak. "Aku ingin menghirup udara segar disampingmu."

Kamu mendengus lalu berdiri tepat di sebelah Jeno. Sudah jelas lelaki itu menutupi sesuatu yang ragu untuk dikatakannya. Tapi akhirnya hanya diam, tak mampu mengungkap.

"Kamu tak mungkin menyuruhku kesini kalau tidak ingin berkata apapun." Kamu merangkul tubuh itu. Kaku dan dingin.

"Tidak ada."

"Oke."

Akhirnya kamu cuma bisa menemaninya, merangkulnya, menyandarkan kepala ke bahu kekarnya. Kalaupun Jeno ingin bercerita, dia akan tahu kapan waktu yang tepat.

Jeno membalas rangkulanku. Dia merangkul pinggangku yang sering disebutnya ramping. Dan dia berkata bahwa dia juga menyukainya.

"Kamu 112 ku," kata Jeno.

"Hah?"

"Kamu nomor darurat yang bisa kupanggil sewaktu-waktu."

"Ya, ya. Terserahmu."

Kalian berangkulan cukup lama hingga akhirnya Jeno menarikmu duduk di atas tanah dingin lalu memilih untuk merangkulmu di dalam jaketnya. Lalu ia tenggelam di lehermu.

"I like your aroma." Jeno berbisik, terasa embusan napas di lehermu.

"Aku tidak memakai parfum blossom lagi. Ini midnight aromatic."

"Bukan. Aroma tubuhmu," ucap Jeno. "Tapi midnight aromatic bagus juga. Sounds dark and creepy."

Kamu tersenyum miring. "Aku tidak ingin tidur disini."

"Cuma sebentar. Hold on."

Kamu mengacak ujung rambut lelaki itu. Mengerti bahwa suasana hatinya kali ini kelabu.

. . .

Kalian mampir ke minimarket membeli beberapa makanan yang bisa kamu makan di rumah Jeno.

"Kenapa repot-repot beli ramen dan segala macam?" tanya Jeno membawakan keranjang dengan rasa malas.

"Aku tahu kamu tidak pernah makan dengan teratur dan sering mengabaikan kesehatanmu. Tapi kali ini kamu harus lakukan dengan baik."

Jeno hanya diam mendengar kalimatmu.

. . .

Sampai di rumah Jeno, kamu membuatkan ramen dan menyeduh teh chamomile untuknya. Kamu hanya memakan sedikit lalu pamit pulang.

nct • imagine✔️Where stories live. Discover now