ADH 2 ✓

42.4K 2.6K 89
                                    

Penjelasan

"Meidina!" pekik Nadia menahan tubuh adik iparnya yang akan tumbang.

"Tolong ambilkan minum," kata Hadid khawatir, meskipun pipinya terasa panas dan perih. Tanpa Hadid sadari, ada orang lain yang menatapnya penuh cemburu. Mahdia tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun, dia merasa bersalah pada Meidina.

"Ini." Khadijah menyerahkan segelas air putih untuk menantunya dengan ekspresi tak kalah khawatir.

"Minumlah dulu," kata Nadia membantu Meidina minum.

"A-aku mau pulang." Suara Meidina bergetar. Air mata pun terlihat menuruni kedua pipinya cukup deras.

"Sayang, dengerin penjelasan aku dulu." Sebisa mungkin Hadid berusaha menahan Meidina agar tidak pergi. Hadid yakin, Meidina tidak akan pulang ke rumah mereka, melainkan ke rumah orang tuanya.

"Hadid," panggil Walid, ayah Meidina.

"Tolong dengarkan penjelasanku terlebih dahulu," pinta Hadid menatap penuh permohonan kepada ayah dan ibu mertuanya.

"Baiklah, silakan jelaskan." Akhirnya Walid mempersilakan agar Hadid menjelaskan salah paham kesalahpahaman ini.

***

Hadid PoV.

Malam itu, hujan deras mengguyur Kota Surakarta, Jawa Tengah. Jam tanganku sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam.

"Punten, Pak, kapan sampai ke hotel ya, Pak?" tanyaku pada Takım, sopir pribadiku.

"Ngapunten, Gus, mungkin sekitar satu jam lagi." Jawaban Takım ini membuatku terdiam.

Aku menatap layar handphone yang menunjukkan foto bersama istriku setahun yang lalu. Ah, aku merindukannya. Sayangnya istriku sedang menempuh pendidikan S-2 di salah satu ma'had di Maroko sejak satu tahun yang lalu. Rencananya, tahun ini dia akan pulang hingga aku tak sabar menunggunya. Hubungan LDR ternyata tak semulus yang diucapkan, apalagi Indonesia-Maroko memiliki perbedaan waktu yang cukup lama sekitar 7 jam.

Aku menatap ke luar jendela menikmati tetesan air hujan yang jatuh di luar mobil. Namun, tunggu! Ada seorang wanita di halte bus yang sepertinya sedang diganggu oleh preman.

"Pak, tolong berhenti dulu. Itu ada seorang wanita yang membutuhkan bantuan kita. Ayo, kita samperin mereka." Aku bergegas mengambil payung di bawah jok mobil dengan tatapan terus tertuju pada wanita di halte itu.

"Nggih, Gus," jawab Takim. Aku keluar menggunakan payung terlebih dahulu. Disusul sopirku yang juga mengambil payung di bagasi mobil.

"Hei, kalian jangan mengganggu wanita itu!" kataku dengan tegas, tak terima saat seorang wanita akan dilecehkan oleh para preman tersebut.

"Wah, Bos, lihat nih, ada yang mau mengambil mangsa kita," sahut salah satu dari preman tersebut.

"Hei, kemarilah! Aku akan melindungimu." Sebisa mungkin aku berteriak menunjuk wanita bercadar yang berdiri ketakutan. Wanita tersebut pun segera berlari menghampiriku saat para preman lengah.

Preman tersebut berjumlah tiga orang dan salah satu mereka adalah yang hampir melecehkan wanita ini. Aku melihat ke arah Pak Takim yang siap membantuku melawan para preman.

"Kurang ajar kamu!" teriak salah seorang preman dan bersiap hendak memukul Pak Takim.

"Awas!" Wanita itu berteriak hingga membuatku melirik ke arahnya.

Antara Dua HatiWhere stories live. Discover now