ADH 4 ✓

36.7K 2.1K 305
                                    

Mendua

"Tapi, Yai," kataku memotong perkataan Habib Kemal.

Kyai Kemal menggeleng seraya berkata, "Saya mohon, Nak."

Setelah mengatakan permohonan itu, Kyai Kemal mengerang kesakitan sambil memegang dadanya. Aku panik dan sedikit mundur untuk memberikan ruang bagi pria yang sedari tadi mendengarkan obrolan kami. Kalau dipikir-pikir, rasanya memang tak mungkin menduakan Meidina, istri yang paling kucintai.

"Nak, saya mohon tolong turuti permintaan Buya," pinta wanita paruh baya tersebut ikut memohon padaku.

"Tapi saya sudah mempunyai istri," kataku tegas, sehingga mereka semua hanya terdiam.

"Saya permisi." Aku keluar dari ruangan dan terduduk di koridor. Aku masih tak mengerti mengapa Kyai Kemal memintaku untuk menikahi putrinya. Bukankah rata-rata kalau anak perempuan keturunan Arab pasti dinikahkan dengan sesama Arabnya lagi agar lebih sekufu?

"Hei, kamu sudah bertemu Abuya? Apa katanya?" Suara Mahdia berhasil mengangetkanku.

"Astagfirullah, sudah," jawabku singkat.

"Ayo, kita ke UGD. Lukamu harus diobati," ajaknya padaku.

"Tidak usah, saya akan pulang saja." Sehalus mungkin aku menolak ajakannya agar tidak menyinggung.

Mahdia menarik napas panjang. "Anggap saja ini sebagai rasa terima kasih karena sudah membantu dan mengantarkan saya sampai ke sini. Saya mohon."

"Baiklah," ucapku, karena tak ingin memperpanjang obrolan. Dia pun berjalan di belakang memastikan aku berjalan ke UGD. Bagaimanapun, aku tak mau berjalan berdampingan dengannya karena takut timbul fitnah.

***

Drrtt ...!

Handphone-nya bergetar sejak tadi, tetapi Mahdia sama sekali tak mengangkatnya. Dia malah mengalihkan pandangan tidak enak kepadaku, entah maksudnya apa.

"Angkat saja, tidak apa-apa. Barangkali penting," kataku padanya.

"Baiklah, maaf, ya. Sebentar." Mahdia beranjak sambil menjauh dariku.

Tidak berselang lama, lukaku akhirnya selesai diobat. Aku berterima kasih kepada dokter dan bergegas menuju administrasi untuk membayar biaya pengobatan. Namun, saat melewati wanita itu, dia memanggilku dengan cepat.

"Hei, mau ke mana?"

"Mau membayar biaya pengobatan." Aku berhenti tak jauh dari tempatnya berdiri.

"Sudah aku bilang kan, aku akan membayarnya. Dasar keras kepala!" gumamnya, menggunakan panggilan 'aku' sehingga membuatku tersenyum tipis melihat tingkahnya.

"Baiklah." Lagi-lagi aku hanya menuruti saja semua yang dikatakan oleh Mahdia. Selama dia sibuk membayar administrasi, tanpa sadar aku memperhatikannya. Astagfirullah! Ingat, Hadid, jangan zina mata. Kamu sudah punya Meidina, kataku dalam hati.

"Bolehkah bertanya sesuatu?" tanya Mahdia saat selesai membayar. Aku menanggapinya dengan mengangguk.

"Apa yang kamu bicarakan dengan Buya di dalam? Apakah ada sesuatu?"

Antara Dua HatiWhere stories live. Discover now