ADH 14 ✓

24K 1.6K 60
                                    

Luka

Panggillah Allah untuk tiap duka, gelisah, dan pinta. Sebab bahagia, sukacita, dan ijabah doa itu dekat saja, tatkala kau tak henti panggil nama-Nya.

(Ustazah Halimah Alaydrus)

***

Meidina menatap Hadid yang terbaring lemah di ruang ICU dengan penuh sendu. Pikirannya tak sinkron dengan fisik, bahkan dia sudah dua kali pingsan. Melihat kondisi Meidina yang kurang sehat, keluarga Hadid menyarankan agar dia pulang saja. Akan tetapi, Meidina tidak mau.

"Mas," lirih Meidina pelan sembari terus berzikir di dalam hati.

"Mbak istirahat dulu, yuk! Di sini ada Mbak Nadia sama Baba," ajak Syifa pada kakak iparnya.

"Enggak, Syif," tolaknya, menggeleng tegas.

"Meidina, pulanglah bersama Mama. Kalian pasti lelah. Besok pagi kalian kemari lagi," ujar Baba.

"Tapi ...." Kata-kata Meidina terhenti saat melihat Baba mengangguk, tanda permintaan yang harus dituruti.

"Ayo, Mbak, Ma!" Syifa berusaha mengajak mereka pulang, walau dengan susah payah.

***

Meidina memasuki rumahnya yang satu bulan lebih tak ditempati. Tangisan Meidina pecah saat melihat sekelebat memori di rumah ini berkeliaran di otaknya, terutama kenangan bersama Hadid. Benarkah dia ingin bercerai dari Hadid?

"Ya Allah, astagfirullah."

***

"Minum air hangat dulu, Mahdia, biar enakan perutnya." Soraya-bibi Mahdia-menghampiri seraya mengelus kepala Mahdia layaknya putrinya sendiri.

"Jazakillah kheir," jawab Mahdia menatap wajah bibinya.

"Kamu harus kuat demi anak-anak kamu, Sayang." Soraya membawa Mahdia dalam dekapannya. Memang sudah cukup lama Mahdia tak merasakan dekapan seorang ibu.

"Umi," panggil Khalisya datang bersama teman barunya.

"Adek namanya siapa?" tanya Mahdia pada temannya Khalisya.

"Zainab."

Mahdia mengangguk-angguk, kemudian bertanya pada Soraya, "Anaknya siapa, Bi?"

"Anaknya Zerina Latif sama Ustadz Zein Ubaidillah, tetangga rumah." Ternyata sejak tadi Soraya juga ikut memperhatikan dua anak kecil yang sedang bermain.

"Oh, iya. Enak ya, jadi anak kecil kayak mereka. Hanya tahu bermain," ungkap Mahdia secara tiba-tiba.

"Mahdia, semua orang mempunyai fase kehidupan masing-masing dan berbeda setiap orangnya. Contohnya kamu dan anak kamu berbeda, tetapi semuanya akan tumbuh dan belajar tentang kehidupan dan lainnya seiring berjalannya waktu. Kita hanya perlu menikmati, serta mensyukuri di setiap prosesnya."

"Iya, Bi," lirih Mahdia menanggapi.

***


"Meidina, kamu sarapan dulu." Khadijah menyerahkan mangkuk berisi bubur.

"Iya, Ma."

"Dalam keadaan Hadid kayak gini, kita hanya harus berdoa minta sama Allah. Maafkan anak Mama udah bikin kamu kecewa, sakit hati, ataupun yang lainnya." Suara Khadijah bergetar menahan tangis.

"Enggak, Ma," kata Meidina seraya memeluk ibu mertuanya. "Insyaallah, Mas Hadid bentar lagi sembuh dan kembali lagi bersama kita," lanjutnya tegas, walau hatinya merasa tak yakin.

"Aamiin allahuma aamiin, insyaallah."

"Kalau aku udah selesai sarapan, habis ini kita rumah sakit lagi ya, Ma." Sebisa mungkin Meidina tersenyum di hadapan Khadijah.

Khadijah ikut tersenyum dan menjawab, "Iya, Nak."

***


Meidina dan Khadijah berjalan cepat ketika melihat ada beberapa polisi yang sedang berbincang bersama Baba di luar ruangan Hadid.

"As-salāmu'alaikum," ucap keduanya kompak.

"Wa'alaikumus-salām," jawab yang lainnya.

"Ada apa ini?" Khadijah langsung bertanya kepada para polisi itu.

"Ini, kami menemukan amplop surat di mobil Pak Hadid, takutnya penting." Salah seorang polisi menyerahkan amplop itu kepada Khadijah.

"Coba dibuka, Ma," kata Meidina penasaran.

"Kamu saja, barangkali untuk kamu." Amplop itu pun diserahkan kepada Meidina yang dirasa lebih berhak membukanya.

"Meidina, masuklah dulu," perintah Nadia, mengurungkan niat Meidina untuk membuka amplop.

"Baiklah, Mbak." Meidina masuk ke ruangan Hadid dengan masih membawa amplop.

***


Meidina tersenyum pedih melihat kondisi Hadid yang nemprihatinkan dengan beberapa bantuan alat medis.

"Mas, maafin aku." Tangis Meidina pecah lagi. "Mas, bangun. Ayo, kita sama-sama lagi."

"Khalisya," gumam Hadid, tetapi Meidina bisa mendengarnya cukup jelas.

Meidina menghapus air mata dengan kasar. Entah mengapa dia merasa ini ada hubungannya dengan kecelakaan suaminya. Pandangan Meidina tertuju pada amplop yang sedari tadi digenggamnya. Saat membuka isi amplop, matanya terbelalak menatap hasil USG. Meidina juga membaca surat dari Mahdia dengan perasaan terkejut. Bagaimanapun, dia harus bertemu dengan Mahdia!

"Mas, kamu merindukan putrimu? Akan aku bawa putrimu kemari, berserta ibunya," bisik Meidina, walau dia tak yakin di mana keberadaan mereka.

Holla comeback!
Terimakasih banyak untuk yang vote dan komen di bab sebelumnya, terus dukung aku ya! Biar Cepet update.
.
.
.
FYI, kalau ada Quotes diatas terus ada tulisan misalkan kayak diatas tadi tulisannya Ustazah Halimah Alaydrus berarti itu orang yang buat Quotesnya ya. Ada orangnya kok.
.
.
Jadi kalian pilih tim mana nih?
Hadid - Meidina
Atau
Hadid - Mahdia
.
.

Jangan lupa untuk tekan tombol pojok kiri bawah ⭐ dan komen Yap! Biar Cepet update:)
.
.
Maaf ya, udah lama gak update huhu... Tapi, insyaallah update rutin lagi ya.
.
.

Salam Sayang
Pelita Manda❤️

Antara Dua HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang