ADH 11 ✓

27K 1.7K 236
                                    

Pilu

Kecewa, sedih, dan menangis itu adalah hiasan untuk hidup kita. Maka sebaik-baik tempat sandaran adalah Allah.

(Ustazah Syarifah Iksir Al-Hamid)

***

Mahdia segera berdiri dan memilih duduk di sofa saat melihat Hadid masuk ke kamar inap Khalisya.

“Mas, aku mau beli makanan dulu buat kita,” kata Mahdia pada Hadid.

“Biar Mas saja, sekalian ngambil handphone, kayaknya ketinggalan di mobil.”

“Enggak usah, Mas, biar aku aja. Mas lagi capek, biar aku yang ngambil handphone Mas di mobil,” cegah Mahdia pada Hadid. Dia melihat Hadid seperti kelelahan dan raut wajanya mulai tidak bersemangat.

“Baiklah, ini kunci mobilnya. Mas parkir di dekat masjid.” Tanpa bertanya apa-apa lagi, Hadid segera menyerahkan kunci mobil.

“Iya, Mas. Aku keluar dulu, ya,” pamit Mahdia sembari mengucapkan salam kepada Hadid.

Sepanjang perjalanan, Mahdia merasa sedikit risi, pasalnya sedari tadi dia terus-menerus ditatap dan diperhatikan.

“Eh, tahu enggak, tadi ada Gus Hadid masuk ke kamar itu. Terus enggak lama cewek itu keluar. Siapa ya, yang sakit?”

“Iya, ya, siapa?”

“Cewek itu siapa, sih? Ning Meidina?”

Mahdia memilih tidak menghiraukan omongan orang-orang, walau dia sedikit agak kesal. Wanita itu memilih terus berjalan dan berusaha tidak memedulikan bisikan-bisikan yang ditujukan untuknya.

Akhirnya sampai juga Mahdia di area parkir dekat masjid. Dia langsung menuju mobil Hadid untuk mengambil handphone suaminya.

Titt! Tiit!

Suara alarm mobil membuat Mahdia membuka pintu sopir dan mulai mencari handphone Hadid. Biasanya Hadid akan menaruh handphone di tempat uang parkir.

Tanpa sengaja, Mahdia menjatuhkan sesuatu saat ingin mengambil handphone Hadid. Dia segera membereskannya, tetapi tanpa sengaja malah melihat sesuatu dalam map.

Rasa penasarannya yang tinggi mendorong Mahdia mencoba membuka map itu. Betapa terkejutnya Mahdia saat isi map tersebut ternyata dari Meidina untuk Hadid.

As-salāmu‘alaikum, Mas, akhir-akhir ini aku tidak mengacuhkan dan menjauhi kamu. Tapi ini untuk kebaikan kita. Rasanya sudah tidak ada lagi yang bisa dipertahankan. Satu bulan yang lalu, aku terkejut saat kita merayakan anniversary, tetapi ada seorang anak kecil yang memanggil kamu “Abi”.

Di situ aku mulai bertanya-tanya dalam hatiku. Aku gelisah dan takut apa yang aku pikirkan emang terjadi, apalagi setelah perempuan itu menjelaskan
kita di rumah Baba.

Mas menikahi perempuan itu saat aku di Maroko? Mengapa Mas tidak berkata jujur atau meminta izin padaku? Aku adalah istrimu, Mas. Tepat di hari itu untuk pertama kalinya aku merasa kecewa dan hatiku begitu sakit, seperti ditusuk ribuan jarum tajam.

Mas, aku tahu dan paham, selama ini kamu memang mengharapkan seorang keturunan. Maafkan aku karena tidak bisa memberikan kamu itu, dan perempuan itu memberikan apa yang kamu inginkan.

Mas, aku ikhlas dan aku minta padamu agar kita bercerai. Aku rasa perempuan dan anak itu lebih berhak bersama kamu dibandingkan aku.

Aku juga tahu, Mas, empat hari terakhir kamu membawa anak kamu tinggal bersamamu kan, Mas? Itu membulatkan niatku ingin bercerai dari kamu.

Mungkin kita hanyalah dua orang saudara dan sahabat yang dipertemukan dalam ikatan suci pernikahan. Kita berdua selama lima tahun terakhir sudah melewati perjalanan rumah tangga kita.

Namun, untuk masalah ini, maaf aku enggak sanggup, Mas.

Maka dari itu, aku minta tolong Mas untuk menandatangani surat perceraian kita.

Tertanda,
Meidina Ahsan


Mahdia membaca surat itu dan berkas-berkas lainnya. Tak terasa air matanya merembes keluar. Ternyata dia sudah menghancurkan rumah tangga orang lain. Perlahan, Mahdia berjalan lunglai menuju kantin rumah sakit, berniat membeli makanan untuk dirinya dan Hadid.

“Pesan apa, Mbak?” tanya penjual pada Mahdia sesaat dirinya sampai di sana.

“Ikan goreng dan capcai saja. Dibungkus, ya.”

Selama menunggu pesanan, Mahdia pun duduk di kursi kantin sambil merenung. Mengapa pernikahan dia tak seindah pernikahan orang lain? Begitu banyak masalah yang datang bertubi-tubi.

“Mbak, ini pesanannya. Totalnya tiga puluh ribu.” Penjual itu menyerahkan plastik hitam.

“Oh, ini Mbak, terima kasih.” Mahdia mengambil plastik tersebut lalu pergi menuju ruangan Khalisya.

***

Hadid menatap Khalisya penuh kasih sayang. Tak hentinya dia mencium kening putrinya sembari terus menggenggam tangan Khalisya.

“Maafin Abi, Sayang,” ucap Hadid lirih. “Abi bingung harus bagaimana. Kamu adalah mutiara hatinya Abi. Abi juga sangat sayang sama Khalisya. Maaf kalau selama ini Abi jarang bermain sama kamu.” Suaranya terdengar sedikit bergetar.

“Abi tidak ingin kehilangan Ummah Meidina, tetapi Abi juga tidak ingin meninggalkan kamu,” lanjut Hadid pilu, bingung harus memilih salah satu di antara keduanya.

Tanpa sadar di balik pintu ada seseorang yang mengintip dan mendengarkan ucapan Hadid pada Khalisya. Mahdia memutuskan melangkah mundur dan mengurungkan niat masuk ke kamar Khalisya. Dia memilih duduk di depan kamar Khalisya sambil melamun. Entah kenapa hatinya merasa sakit dan sesak saat mendengarkan curahan hati Hadid pada Khalisya.

Mahdia tahu, selama ini Hadid sangat mencintai Meidina, bahkan ketika Hadid mengunjungi dirinya. Di pikiran Hadid hanya ada Meidina dan terus bercerita tentang Meidina. Wanita mana yang tak sakit saat suaminya menceritakan wanita lain di hadapannya?

Dia harus bagaimana? Maju atau mundur? Jika maju, dia egois sekali menghancurkan rumah tangga Hadid dan Meidina. Namun, jika mundur? Apakah Mahdia akan sanggup?

“Permisi, Bu, apakah Ibu wali pasien atas nama Khalisya Syafiqa Dihakam?” tanya suster memecahkan lamunan Mahdia.

“Iya, Sus, ada apa, ya?” Mahdia sedikit terkejut melihat kedatangan suster yang tiba-tiba.

“Silakan ke ruangan Dokter, Bu, sudah ditunggu.” Suster tersebut menunjukkan ruang dokter seraya tersenyum.

“Baik, Sus.” Tanpa menunggu lama, Mahdia langsung beranjak pergi mengikuti suster tersebut.



Holla comeback!
Terimakasih banyak untuk yang vote dan komen di bab sebelumnya, terus dukung aku ya! Biar Cepet update.
.
.
FYI, kalau ada Quotes diatas terus ada tulisan misalkan kayak diatas tadi tulisannya  Ustazah Syarifah Iksir Al Hamid berarti itu orang yang buat Quotesnya ya. Ada orangnya kok.
.
.
Jadi kalian pilih tim mana nih?
Hadid - Meidina
Atau
Hadid - Mahdia
.
.

Jangan lupa untuk tekan tombol pojok kiri bawah ⭐ dan komen Yap! Biar Cepet update:)

Salam Sayang
Pelita Manda❤️

Antara Dua HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang