ADH 3 ✓

39.7K 2.4K 104
                                    

Sebuah Permintan

Tok! Tok!

Kaca mobil diketuk oleh wanita itu dan dengan segera aku menurunkan kaca mobil. “Ada apa?” tanyaku, mengernyit bingung.

“Tolong antar saya ke rumah sakit. Abuya saya baru saja masuk rumah sakit dan semua orang rumah berada di rumah sakit. Saya khawatir,” ucapnya panik. Membuatku bertanya, kenapa harus aku?

“Ha? Maksudnya apa?” tanyaku padanya untuk memperjelas yang dia maksudkan.

“Tolong antarkan saya ke rumah sakit. Baru saja Abuya saya dirawat di rumah sakit.” Kali ini dia berbicara sambil menangis, membuatku ikut panik karena takut dituduh melakukan hal yang tidak-tidak padanya.

“Masuklah!” Aku segera menggeser duduk, kemudian wanita itu masuk ke mobil dan duduk di sebelah.

“Rumah sakit mana?” tanyaku padanya.

Dia menggeleng. “Pak Satpam juga enggak tahu. Tadinya aku berniat menghubungi keluarga, tapi handphone-ku mati. Mungkin dibawa ke rumah sakit terdekat dari sini.”

“Pak Takim, tolong pergi ke rumah sakit terdekat dari sini saja,” perintahku sambil menghela napas panjang. Dugaanku pasti Abuya wanita ini dibawa ke rumah sakit terdekat.

Nggih Gus.” Perlahan, mobil mulai membelah jalanan Kota Surakarta. Namun, tiba-tiba handphone-ku bergetar. Ternyata WhatsApp dari istriku, Meidina.

Meidina:
As-salāmu‘alaikum, Mas sudah tidur?

Hadid:
Belum, cintaku. Mas masih di Surakarta. Belum selesai kerjaannya.
:
M

eidina

Hati-hati, Mas, jangan telat makan. Pokoknya kalau aku pulang, kamu kurus! Awas aja aku enggak mau tahu.

Hadid:
Iya, cintaku, My Honey. Aku selalu makan tepat waktu, kok. Kamu juga, ya. Hati-hati di sana. Aku selalu nunggu kamu pulang. Stay healthy, Honey!

Meidina:

Iya, Mas. Ya udah, Mas. Ini aku ada dosen masuk. Wassalamu’alaikum.

Hadid:
Wa’alaikumus-salām, love you.


Pesan terakhir yang kukirimkan itu hanya ceklis satu. Sepertinya kelas perkuliahan istriku sudah dimulai. Aku pun menyimpan handphone di saku celana, kemudian menatap wanita yang sejak tadi terlihat begitu panik dan gelisah. Dia juga sesekali menghapus air matanya yang terjatuh. Walaupun bercadar, aku tahu bahwa dia menangis dalam diam.

“Gus, di depan ada rumah sakit,” kata Pak Takim, membuatku mengalihkan perhatian dari wanita itu.


“Masuk saja, Pak,” jawabku, membuang napas lega. Pak Takim pun mengangguk dan membelokkan mobil yang kami tumpangi ke arah parkiran.

“Pak, saya berutang budi pada Bapak. Ayo, kita harus mengobati lengan serta punggung Bapak yang terluka. Nanti biar biayanya saya yang menanggung.” Sebelum turun dari mobil, wanita itu mengatakan hal yang memang berhasil menambah rasa bingung.

“Saya mohon, Pak, ikutlah dengan saya ke dalam. Sekalian diobatin lukanya,” katanya lagi sambil menelangkukan kedua tangannya, memohon.

“Baiklah.”
Jadilah aku dan wanita ini berjalan menuju lobi rumah sakit tepat saat jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

Antara Dua HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang