ADH 10 ✓

28.7K 1.9K 128
                                    

Sebuah Pilihan

Allah selalu memberikan yang terindah, meski dibalut air mata. Allah selalu memberikan yang terbaik, meski diselimuti rasa sakit. Allah tak pernah kurang memberi, hanya saja kita tak pernah peduli. Semoga Allah mengampuni.

(Syarifah Fatima Munzir Al-Musawa)

***

“Mahdia, Mas ada perlu dulu. Kamu di sini saja jangan pergi ke mana-mana,” kata Hadid pada Mahdia.

“Iya, Mas,” jawab Mahdia pelan sambil mencium punggung tangan Hadid. Mahdia menatap punggung Hadid yang semakin jauh dari pandangannya.

Hadid melangkah masuk ke toko bunga. Semenjak dia dan Meidina pisah rumah, Hadid setiap hari selalu mengunjungi Meidina dengan membawa buket bunga yang di dalamnya terdapat surat yang ditulis khusus untuk istri tercinta. Walaupun saat mengunjungi Meidina, Meidina tak pernah mau menemui Hadid.

“Pak, seperti biasa, ya,” ucap Hadid pada penjual bunga.

“Siap, Gus.”

Tak berapa lama kemudian, penjual itu datang dengan membawa buket bunga serta secarik kertas dan pulpennya.

***

Meidina duduk di balkon kamarnya sembari membawa majalah. Dia menatap kumpulan buket bunga yang mulai layu.

“Kak Mei,” panggil Haikal, adik Meidina.

“Iya? Masuk Dek.”

“Kata Walid, Kakak sudah yakin dengan keputusan Kakak?” Haikal bertanya penuh hati-hati. Dia takut melukai perasaan kakak perempuannya.

“Insyaallah. Kalau dia udah dateng, kabarin Kakak, ya.” Meidina melihat ke langit-langit kamarnya yang sudah empat minggu terakhir ditinggali.

Tangannya mengambil beberapa tumpukan kertas berisi surat-surat yang Hadid selipkan pada buket bunga. Tak terasa air matanya ikut menetes, apakah ini keputusan terbaik yang akan diambil?

Deru mobil terdengar di pekarangan rumah orang tuanya. Meidina yakin itu pasti Hadid. Dia pun segera mengambil sesuatu dari dalam laci lemari. Entah mengapa Hadid merasa perasaannya tidak enak, padahal biasanya dia tidak merasakan apa pun. Dengan langkah tegap, Hadid mulai berjalan menuju rumah mertuanya.

“As-salāmu‘alaikum,” kata Hadid sembari mengetuk pintu.

“Wa’alaikumus-salām,” jawab seseorang di balik pintu.

“Silakan masuk, Bang, udah ditunggu.” Adik Meidina menyambut kedatangan Hadid. Di ruang keluarga terlihat keluarga Meidina sedang berkumpul. Tentu saja hal ini membuat Hadid semakin gugup.

“Kemarilah, Nak,” kata Walid meminta Hadid duduk di sebelahnya.

“Haikal, panggilkan kakak kamu,” kata Rahma, mama Meidina.

Meidina masuk ke ruang keluarga bersama Haikal dan memilih duduk agak jauh dari Hadid, walaupun hatinya mengatakan rindu.

“Kemarilah putri Walid,” kata Walid meminta Meidina mendekat ke arah dirinya dan berarti dekat dengan Hadid juga.

“Hadid, Meidina, kalian adalah anak Walid. Dan kalian berdua merupakan pasangan suami istri. Tidak baik rasanya Walid dan Mama terus-menerus membiarkan kalian dalam ketidakjelasan sesuatu hal,” papar Walid mengambil jeda napas.

“Jadi, bagaimana keputusan kalian?” lanjutnya.

“Aku ingin pisah saja, Walid,” ungkap Meidina. Hadid menghela napas berat mendengar Meidina mengatakan itu.

“Nak, perceraian adalah halal, tetapi hal yang paling dibenci oleh Allah.” Ucapan Walid membuat mereka semua terdiam, termasuk Hadid dan Meidina yang sama-sama menunduk.

“Hadid, bagaimana keputusan kamu? Bagaimanapun kamu seorang kepala keluarga.” Kali ini Rahma yang berbicara.

“Aku tidak bisa berpisah dengan Meidina,” ungkap Hadid jujur.

“Kalau begitu, Mas harus pilih aku atau wanita itu!” Meidina berkata penuh dengan ketegasan.

Hadid terdiam, bingung tidak bisa memilih di antara keduanya. Bagaimanapun Hadid menyayangi Khalisya dan tidak bisa berpisah dari Mahdia, tetapi dia juga mencintai Meidina.

“Jika Mas tidak bisa memilih, maka aku akan memilih mundur. Ini, Mas,” kata Meidina menyerahkan map.

“Apa ini?” tanya Hadid menatap map itu penuh kebingungan.

“Itu surat pengajuan perceraian kita. Aku minta Mas menandatanganinya.” Suara Meidina pelan, entah kenapa dia malah merasa ragu.

“Meidina, sampai kapan pun Mas tidak akan pernah menceraikan kamu.” Hadid berkata tak kalah.

“Itu berarti Mas Hadid akan menceraikan wanita itu?” tanya Meidina berusaha meyakinkan dirinya, tetapi Hadid tidak mampu menjawab.

“Kenapa Mas diam? Itu berarti Mas juga tidak ingin bercerai dari wanita itu, kan? Jawab aku, Mas!” kata Meidina bergetar, lalu berlari menuju kamarnya.

“Meidina!” teriak Hadid melihat istrinya pergi.

“Tenangkan dirimu, Hadid, biarkanlah Meidina menenangkan dirinya. Sebaiknya kamu istirahat dulu. Kamu sudah makan?” Wanita paruh baya itu menatap sedih menantunya yang tidak berdaya.

“Sudah, Ma, maafkan aku, Walid, Ma. Sungguh aku tidak berniat selingkuh atau mengkhianati Meidina.” Hadid berusaha meyakinkan mertuanya.

“Istirahatlah di rumah,” kata Walid.

“Iya Walid,” kata Hadid beranjak menyalami kedua mertua dan kakak iparnya.

“Bang, ini ketinggalan.” Haikal membawakan map dan menyerahkan kepada Hadid. Setelah berpamitan, Hadid berjalan meninggalkan rumah itu dan masuk mobil. Dia menaruh map yang diberikan Haikal di dashboard mobil dan menatap penuh kesedihan. Apa ini akhir dari pernikahannya dengan Meidina? Jika dia bercerai dengan Mahdia, apakah sanggup menahan rindu pada Khalisya?

Holla comeback!
Terimakasih banyak untuk yang vote dan komen di bab sebelumnya, terus dukung aku ya! Biar Cepet update.
.
.
FYI, kalau ada Quotes diatas terus ada tulisan misalkan kayak diatas tadi tulisannya Syarifah Fatima Al Musawa berarti itu orang yang buat Quotesnya ya. Ada orangnya kok.
.
.
Jadi kalian pilih tim mana nih?
Hadid - Meidina
Atau
Hadid - Mahdia
.
.

Jangan lupa untuk tekan tombol pojok kiri bawah ⭐ dan komen Yap! Biar Cepet update:)

Salam Sayang
Pelita Manda❤️

Antara Dua HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang