ADH 8 ✓

28.2K 1.9K 139
                                    

Khalisya's

Janganlah kau bersedih ketika urusan duniamu rumit, karena bulan itu bertambah megah keindahannya, walaupun dunia di sekelilingnya bertambah gelap.

(Syarifah Berlian Bafaqih)

***

Kakinya melangkah menuju rumah orang tua. Sesampainya di sana, dia hanya menggeleng melihat adik perempuannya bermain handphone sembari memakan camilan.

"As-salāmu'alaikum," ucap Hadid memasuki rumah orang tuanya.

Syifa terperanjat dan segera menjawab, "Wa'alaikumus-salām."

"Hadid, gimana sama Meidina?" Khadijah langsung menanyakan keadaan menantunya itu, sehingga membuat Hadid menarik napas berat.

Meidina benar-benar melakukan apa yang dia katakan saat Walid dan mamanya Meidina pulang dari luar kota. Wanita itu langsung saja mengemasi barang dan pulang ke rumah orang tuanya.

Sudah satu minggu terakhir Hadid berusaha menemui Meidina yang terus-menerus menghindarinya. Dia juga belum memberikan kabar atau sekadar menghubungi putrinya, obat di kala lara melanda.

"Kak Hadid, dari tadi handphone-nya bunyi, tuh," tunjuk Syifa pada handphone yang tergeletak di sofa.

"Astagfirullah, pantesan dari tadi Kakak cariin. Ternyata ketinggalan di sini," ujar Hadid sembari mengambil handphone.

"Mahdia," ujar Hadid pelan saat melihat begitu banyak notifikasi panggilan telepon tak terjawab dari istri keduanya itu.

"Kenapa, Kak?" Syifa menatap penasaran, lalu menghampiri kakaknya.

"Itu perempuan itu ya, Kak?" tanya Syifa lagi, tetapi tak dihiraukan oleh Hadid.

Hadid membuka WhatsApp dari Mahdia dan mendapati sebuah video. Setelah selesai mengunduh, baru dia melihat video yang menampilkan putrinya sedang merajuk merindukan dirinya.

"Ya Allah, Khalisya maafin Abi, Sayang," lirih Hadid pelan.

"Aku kangen Dek Khalisya. Bawa sini Dedek-nya, Kak. Lagian Dedek Khalisya kangen Kakak, kan?"

"Iya, bawa sini, Hadid. Mama pengen main sama anak kamu. Mama baru tahu kalau kamu punya anak," ujar Khadijah ikut menimpali. Hadid pun mengangguk setuju dan akan membawa Khalisya selepas salat Asar nanti. Ya, Hadid akan menuju Surakarta bertemu putrinya. Seperti biasa, dia ditemani dengan Pak Takim.

***

"Umi, enak!" puji Khalisya cempreng. Mahdia menggeleng melihat Khalisya yang makan belepotan dan semakin hari semakin cerewet.

"As-salāmu'alaikum," kata seseorang sembari mengetuk pintu. Mahdia berjalan menuju pintu dan tak lupa mengenakan cadarnya.

Senyum Mahdia mengembang, lalu berkata, "Silakan masuk, Mas."

"Abiii!" Khalisya berlari memeluk abinya. Hadid pun tersenyum bahagia dan merentangkan tangannya untuk mendekap putri yang sejak lama dirindukan. Melihat tingkah keduanya, Mahdia pun tersenyum tipis. Rasa-rasanya dia sangat ingin waktu tidak berlalu begitu cepat, sehingga Hadid bisa lebih lama berada di sisinya.

"Mas, aku ke kamar mandi dulu, ya," ujar Mahdia, merasa perutnya mulai bergejolak tak nyaman.

Hadid yang mendengar suara muntah dari dalam kamar mandi, berlari ingin mengetahui apa yang terjadi. "Kenapa, Dek?" tanya Hadid memijat leher Mahdia yang terus-menerus mengeluarkan isi perut.

"Eng-enggak apa-apa, Mas. Kayaknya salah makan saja." Mahdia menghadap ke arah suaminya, memastikan kalau dirinya baik-baik saja.

"Beneran kamu nggak apa-apa, Dek? Atau kita ke dokter aja ya, sekarang? Mumpung Mas ada di sini." Hadid membelai wajah Mahdia yang biasanya tertutup cadar.

"Iya, Mas, ada enggak apa-apa, kok." Sebisa mungkin Mahdia tetap meyakinkan dirinya baik-baik saja. Mahdia merasa sekarang waktunya belum tepat untuk memberi tahu Hadid tentang kehamilannya.

"Ya sudah, Mas minta tolong kamu siapkan pakaian Khalisya, ya," pinta Hadid, menimbulkan kerutan di kening Mahdia.

"Maksudnya, Mas?"

"Mama pengen main sama Khalisya. Jadi aku mau bawa Khalisya satu mingguan," kata Hadid sembari berjalan keluar kamar.

Mahdia terdiam bingung dan tak tahu harus bagaimana. Walaupun begitu, tangannya tetap menyiapkan pakaian dan semua kebutuhan Khalisya di dalam tas bayi, kemudian membawanya keluar kamar.

"Mas udah makan?" tanya Mahdia pada Hadid.

"Belum, entah kenapa Mas pengen makan nasi kebuli." Kali ini Hadid menoleh ke arah Mahdia.

"Bentar ya, Mas. Dibikin dulu." Baru saja Mahdia hendak menuju dapur, ucapan Hadid langsung menahan langkahnya.

"Mas makan di jalan saja. Sekarang mana tasnya Khalisya?" Tanpa basa-basi, Hadid langsung mengatakan intinya.

"Mas mau berangkat sekarang?" tanya Mahdia lagi dan mendapat anggukan dari Hadid.

"Khalisya, ayo, Sayang." Dengan wajah gembira, Hadid menggandeng putrinya keluar dari rumah. Dalam beberapa saat, otak Mahdia sepertinya berjalan lambat dan agak sulit mencerna perkataan Hadid. Sampai akhirnya suara klakson membuat Mahdia sadar.

"Mas!" teriak Mahdia berusaha mengejar mobil suaminya yang membawa putrinya.

"Mas Hadid!" Mahdia kembali berteriak dengan pilu. Kini, dia ditinggalkan seorang diri.

Mahdia terduduk sambil menangis saat melihat putrinya pergi bersama Hadid untuk waktu yang lama tanpa mengajak dirinya. Entah bagaimana tujuh hari kedepan. Apakah dia bisa melewati hari-hari tanpa kehadiran putrinya?



Holla comeback!

Terimakasih banyak untuk yang vote dan komen di bab sebelumnya, terus dukung aku ya! Biar Cepet update.
.


.
FYI, kalau ada Quotes diatas terus ada tulisan misalkan kayak diatas tadi tulisannya Syarifah Berlian Bafaqih berarti itu orang yang buat Quotesnya ya. Ada orangnya kok.
.
.
Jadi kalian pilih tim mana nih?
Hadid - Meidina
Atau
Hadid - Mahdia
.
.

Jangan lupa untuk tekan tombol pojok kiri bawah ⭐ dan komen Yap! Biar Cepet update:)

Salam Sayang
Pelita Manda❤️

Antara Dua HatiWhere stories live. Discover now