ADH 5 ✓

36K 2.4K 414
                                    

Terungkap

“Huh!” Hadid menarik napas berat.

Dia sudah menjelaskannya kepada mereka dan mengaku salah karena tidak meminta izin dulu kepada Meidina atau memberi tahu orang tuanya. Selama ini dia juga selalu menyembunyikan memiliki istri selain Meidina.

“Mas Hadid tidak bersalah, karena sayalah yang bersalah. Maafkan saya,” ucap Mahdia berlutut pada Meidina.

Mahdia tahu semua ini salahnya. Seandainya saja dia tidak keras kepala meminta Hadid untuk ikut ke rumah sakit, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. Andai waktu dapat diulang.

“Mas Jahat!” kata Meidina terisak, hatinya terasa tertusuk ribuan pisau, sedangkan Mahdia hanya bisa menunduk sambil terus memohon maaf kepada Meidina.

“Maaf, Sayang, maaf.” Hadid merasa sangat bersalah atas apa yang dilakukannya tergadap Meidina.

Di sela isakan tangis Meidina, tiba-tiba Naima masuk sambil mengucapkan salam. Namun, Naima terkejut saat melihat Mahdia sedang bersimpuh di hadapan Meidina.

“Kak? Apa yang Kakak lakukan? Ayo, bangun,” katanya, menarik Mahdia agar bangun.

“Aku pulang dulu, aku kecewa sama Mas!” pungkas Meidina beranjak pergi meninggalkan ruangan itu.

“Meidina,” panggil Hadid, berusaha mencegah istrinya.

“Biarkan saja, Nak. Meidina butuh menenangkan diri terlebih dahulu,” ujar Khadijah, menahan langkah Hadid yang hendak mengejar Meidina.

“Kalau kamu enggak punya istri lagi, mungkin Meidina enggak bakal pergi ninggalin kamu!” Nadia berkata penuh emosi dengan tatapan sinis.

“Maaf, maksudnya apa? Mbak menyalahkan Kak Mahdia?” Nada bicara Naima terdengar kesal.

“Loh, enggak. Emangnya ngerasa?” ujar Nadia semakin sinis.

Naima menarik napas panjang dan berkata, “Tolong dijaga ucapannya ya, Mbak. Kak Mahdia enggak gitu, Ya Allah.”

“Udah, Im. Enggak apa-apa,” kata Mahdia mencoba melerai.

“Udah gimana sih, Kak? Jelas-jelas dia ngerendahin Kakak!” sahut Naima berapi-api. “Tanggung udah kebongkar. Jadi lebih baik bongkar aja semuanya.”

“Astagfirullah, Naima, udah.” Mahdia mencengkeram lengan Naima cukup kuat karena takut sesuatu yang lebih buruk akan terjadi.

“Ya udah, bongkar aja. Kita juga pengen tahu!” jawab Nadia, membuat Hadid turut mencegah pertikaian keduanya.

“Asal kalian tahu, ya, saat Gus Hadid nikah sama Kakak Mahdia, semuanya dilakukan secara tertutup. Mereka juga bertemu cuma dua sampai tiga bulan sekali. Itu pun hanya dua atau tiga hari saja. Saat Kak Mahdia hamil, Gus Hadid enggak di samping Kak Mahdia. Bahkan saat Kak Mahdia melahirkan, Gus Hadid datengnya telat! Terus Kak Mahdia enggak pernah minta apa pun dari Gus Hadid. Satu lagi, Kak Mahdia enggak pernah kirim pesan atau menuntut sesuatu dari Gus Hadid!” jelas Naima panjang lebar.

“Hadid, apakah yang dibicarakan wanita ini benar?” tanya Abbas.

Dengan ragu-ragu Hadid menjawab, “Iya, apa yang dikatakannya memang benar.”

“Astagfirullah, Hadid! Mama dan Abah tidak pernah mendidikmu sampai kamu berbuat seperti ini!” sahut Khadijah mengelus dadanya kesal.

Sementara itu, Mahdia menatap Naima kesal. Seharusnya Naima tidak berkata seperti itu. Biarkan semuanya menjadi rahasia mereka saja. Sekarang, Mahdia merasa tidak enak kepada Hadid, karena bagaimanapun Hadid adalah suaminya.

“Maaf sebelumnya, kami mau pamit pulang dulu karena ada acara keluarga.” Mahdia memberanikan diri kembali berbicara sambil berdiri dan mengambil tas Khalisya.

“Jadi, keputusan kamu bagaimana, Hadid? Kamu sudah mengkhianati Meidina,” tanya Walid, ikut kecewa dengan apa yang terjadi dalam rumah tangga anaknya, Meidina.

“A-aku bingung.” Ucapan Hadid ini sontak membuat Walid dan Abbas kesal. Hadid pun menatap Mahdia penuh arti.

Mahdia menghela napas. Selama ini dia sudah banyak merepotkan Hadid yang selalu bersikap baik kepadanya dan putri mereka. “Mas Hadid, aku ikhlas kalau kita pisah. Hanya saja, aku mohon jangan ambil Khalisya dariku.” Mahdia menatap Hadid, lalu beranjak bersama Naima.

Mahdia tahu, ini keputusan yang berat. Namun, dia harus mengambil langkah ini karena tak ingin melihat suaminya sedih karena kehilangan istri tercinta, Meidina. Biarlah dia yang memilih mundur. Bagaimanapun, Mahdia sadar bahwa dialah yang menyebabkan retaknya rumah tangga Hadid dan Meidina.

“As-salāmu‘alaikum.” Syifa masuk rumah bersama Khalisya yang digandengnya.

“Wa’alaikumus-salām.” Mereka semua kompak mengalihkan pandangan ke arah pintu masuk.

“Ayo pulang, Sayang,” ajak Mahdia meraih tangan Khalisya.

Ndak, mau main sama Abi, Mi.” Bukannya menurut, Khalis malah berlari ke arah Hadid. Hadid pun menggendong Khalisya, lalu mengecup kepala dan memeluk putrinya. Dia merasa bersalah kepada putrinya karena jarang bermain bersama.

“Ayo kita pulang, Sayang. Katanya mau main sama Zahra. Ayo,” kata Mahdia membujuk putrinya yang mulai merajuk.

Ndak mau! Khalisnya mau main sama Abi,” ucap Khalisya mengerucutkan bibirnya. Mahdia pun menatap Hadid penuh kode.

“Khalisya pulang sama Umi, ya. Nanti kita main, ya,” bujuk Hadid sembari mengelus kepala putrinya.

Ndak, bohong! Abi jarang pulang, sibuk kerja melulu enggak kayak abinya Zahra ada di rumah, masa abinya Khalisnya enggak ada,” celoteh Khalisya membuat Hadid berdiri kaku.

“Udah, Sayang, ayo.” Mahdia mengambil Khalisya dan menggendongnya dengan cepat. Di dalam gendongan, Khalisya masih terus meronta karena tidak ingin pulang.

“Turun, Umi. Khalisya mau main sama Abi,” rengeknya sembari mengamuk di pelukan Mahdia.

Dengan segera Mahdia naik ke mobil dan menutup pintu. Akan tetapi, kaca mobil itu berhasil dibuka oleh Khalisya.

“Abiii!” teriak Khalisya ketika mobil mulai meninggalkan tempat itu. Hadid hanya bisa menatap putrinya lemah, merasa tak tega. Salahnya dia juga yang jarang mengunjungi Khalisya dan bermain bersama anaknya.

Terimakasih untuk 1k viewers 🌼

Jadi kalian tim mana nih?
Hadid - Meidina
Atau
Hadid - Mahdia

Jangan lupa untuk vote dan komen Yap! Biar Cepet update:)

Salam Sayang

Pelita Manda❤️

Antara Dua HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang