ADH 9 ✓

26.9K 1.9K 132
                                    

Belahan Jiwa

Jangan merasa sepi atau sendirian, kerena sejatinya kita tidak benar-benar sendirian, masih ada Tuhan yang menemani kita.

(Ustazah Syarifah Aminah Al Attas)

***

“Khalisya turun dulu sama Tante Syifa, ya,” kata Hadid membujuk putrinya.

Ndak!” Khalisya tak mau diturunkan dari gendongan Hadid barang sebentar saja. Hadid pun menghela napas berat. Sejak Khalisya dibawa ke rumahnya, anak itu memang tak mau lepas dari gendongannya. Jika dilepas maka akan menangis.

“Khalisya makan siangnya apa?” Pertanyaan Khadijah membuat Hadid mengerutkan kening. Soal makanan Khalisya, Hadid tidak pernah tahu-menahu karena biasanya Mahdia yang sudah menyiapkan.

“Bubur saja, Ma,” ucap Hadid saat teringat waktu itu Mahdia menyuapi Khalisya bubur.

“Syifa, tolong beliin bubur di ruko depan,” pinta Khadijah pada putri bungsunya. Sementara itu, Hadid masih berusaha membujuk Khalisya agar mau diturunkan dari gendongan, karena dia ada keperluan mendadak.

Ndak, Abi.” Bukannya menurut, Khalisya malah menangis cukup keras, tetapi Hadid tidak menghiraukannya. Mungkin karena Khalisya belum pernah bersama eyangnya atau keluarga Hadid lainnya, jadilah anak itu menangis.

***

Mahdia menatap kosong mainan Khalisya. Baru satu hari saja rasanya dia sudah sangat merindukan putrinya. Merindukan jeritan, tawa, dan celoteh Khalisya. Berkali-kali Mahdia menatap jam dinding dan kalender, masih ada 6 hari lagi agar dia bertemu Khalisya.

“As-salāmu‘alaikum, Adek,” kata seseorang sembari mengetuk pintu rumah.

“Wa’alaikumus-salām, sebentar.” Mahdia beranjak dan memakai cadarnya. Rupanya yang datang adalah Nafiza, kakak iparnya.

“Loh, kok sepi banget, Dek? Khalisya mana?” tanya Nazifa bingung.

“Khalisya sama abinya, Kak.”

“Oh, begitu. Kamu sendiri gimana keadaannya? Dari tadi Kakak telepon tapi enggak dijawab sama sekali.”

“Maaf, tadi Adek di kamar mandi pas Kakak telepon.” Mahdia meringis dan merasa tidak enak hati pada kakak iparnya.

“Iya, enggak apa-apa. terus, gimana hasilnya?” Nazifa kembali bertanya, sehingga menimbulkan kebingungan bagi Mahdia.

“Hasil apa?”

“Bukannya kemarin kamu dikasih test pack sama Umi? Kakak disuruh nanya hasilnya.” Nazifa memperjelas maksud dari pertanyaannya barusan. Dalam sekejap, senyuman Mahdia tersungging manis dan memberi tahu bahwa dirinya sedang hamil. Mereka berdua pun tertawa bersama seakan saling membagikan energi positif, sehingga Mahdia bisa melupakan kesedihannya sejenak.

***

Hadid menatap sedih putrinya yang terbaring lemah. Baru empat hari saja dia bersama Khalisya, tetapi sudah membuat Khalisya sakit. Khadijah pun menyuruh Hadid untuk menghubungi Mahdia agar segera datang untuk menemui anaknya, Khalisya. Maka di sinilah Mahdia sekarang. Di rumah suaminya.

“Mas, Khalisya mana? Perasaan aku enggak enak,” ujar Mahdia begitu bertemu dengan Hadid.

“Masuklah,” titah Hadid yang langsung dituruti oleh Mahdia.

“Khalisya Sayang.” Mahdia memeluk anaknya yang terbaring lemah dan menanyakan apa yang sudah terjadi, sampai-sampai Khalisya seperti itu.

“Khalisya enggak mau makan dan susah buat tidur.” Hadid menjawab sembari menunduk, merasa bersalah.

“Ya Allah, maafin Umi, Sayang.” Perlahan Mahdia mengelus rambut Khalisya penuh sayang.

“Umi, ayo kita pulang,” kata Khalisya lemas, bibirnya yang pucat membuat Mahdia tak tega.

“Iya, kita pulang.” Cepat-cepat Mahdia memakaikan Khalisya kaus kaki dan merapikan pakaian anaknya itu.

Khadijah yang baru datang pun bertanya, “Kamu mau pulang?”

“Iya Bu,” jawab Mahdia sopan, lalu kembali melanjutkan persiapan untuk membawa Khalisya pulang.

Tiba-tiba saja Khalisya muntah parah dan membuat Mahdia menengok ke arah putrinya dengan khawatir. “Ya Allah, Khalisya,” katanya.

“Gimana ini, Mas?” Pertanyaan ini Mahdia tujukan kepada Hadid dengan ekspresi begitu panik melihat anaknya terus-menerus muntah.

“Bawa ke rumah sakit sekarang!” Hadid lalu menggendong Khalisya berlari menuju mobilnya.

“Iya, Mas,” jawab Mahdia sembari menjinjing tas menyusul.

***

Mahdia terduduk di depan pintu IGD dan lemas saat melihat Khalisya sakit. Dia tak tega mendengar Khalisya berteriak kesakitan. Di sisi lain, Hadid berusaha menenangkan hati Mahdia, meskipun dirinya juga merasa sangat panik bukan main.

Bagaimanapun sakitnya Khalisya karena dia. Hadid tidak berhasil membujuk Khalisya makan atau tidur, karena Khalisya selalu menangis jika dia tinggal dan merindukan uminya. Andai saja dia tidak egois, pasti saat putrinya meminta pulang akan langsung dituruti. Tak mungkin pula Khalisya menjadi sakit seperti ini.

“Mas, aku mohon Khalisya harus sehat,” ucap Mahdia sembari terisak.

“Karena Khalisya belahan jiwa aku, Mas. Dia satu-satunya harapan aku,” ungkapnya, langsung didekap Hadid.

“Bukan hanya kamu, tetapi Mas juga.”

Pada saat Mahdia berada di dalam dekapan Hadid, wanita itu kembali merasa mual hingga Hadid bertanya, “Kamu kenapa?” tanya Hadid khawatir.

“Enggak apa-apa, Mas.” Mahdia menjawab penuh kegugupan.

Drrt!

Handphone Hadid bergetar, menampilkan telepon dari Nadia. Hadid pergi mengangkat telepon agak menjauh dari Mahdia. Awalnya memang tidak ada yang aneh, sampai akhirnya Hadid berteriak, “Mahdia dan Khalisya bukan benalu, Kak!” bentak Hadid menutup telepon.

Entah kenapa Mahdia merasa sakit hati dengan perkataan kakak iparnya, walau dia tidak mendengar secara jelas. Namun, dia bisa mendengarkan dari percakapan Hadid dan Nadia. Dia tak kuat dan memilih melangkah mundur ke tempat semula daripada mendengarkan perkataan lainnya yang membuat semakin sakit hati.

Apa ini sebuah tanda bahwa dia harus pergi?


Holla comeback!
Terimakasih banyak untuk yang vote dan komen di bab sebelumnya, terus dukung aku ya! Biar Cepet update.
.
.
FYI, kalau ada Quotes diatas terus ada tulisan misalkan kayak diatas tadi tulisannya Ustazah Syarifah Aminah Al Attas berarti itu orang yang buat Quotesnya ya. Ada orangnya kok.
.
.
Jadi kalian pilih tim mana nih?
Hadid - Meidina
Atau
Hadid - Mahdia
.
.

Jangan lupa untuk tekan tombol pojok kiri bawah ⭐ dan komen Yap! Biar Cepet update:)

Banyak komen double update😁

Salam Sayang
Pelita Manda❤️

Antara Dua HatiWhere stories live. Discover now