26 - Gara-gara Perkedel

247K 25.7K 2.9K
                                    

Hayuk...

Pendukung Ares & Nara mana nih suaranya...

Okay, sebelum baca chapter ini, kamu VOTE dulu yah...

Terus siapkan mata, suara, dan hati kamu ya...☺️☺️☺️

Selamat membaca 🤗🤗🤗

*****

Saat ini kami, aku dan Pak Gian sedang dalam perjalanan pulang ke apartemennya. Aku menggeram kesal dalam hati mengingat aku juga ikut tertidur di ruangannya. Seandainya ponsel Pak Gian tidak berbunyi, maka dapat kupastikan kalau saat ini kami masih berada di ruangannya.

Rasanya badanku remuk semua, mengingat aku tidur dengan posisi duduk. Leherku juga berat sekali, mungkin karena tidur menunduk. Bayangin aja, aku tidur dengan posisi itu selama dua jam lamanya.

Kini matahari tidak lagi memperlihatkan dirinya, siang pun telah berganti dengan malam. Aku melirik ponselku untuk melihat jam.

19.15

Pantas saja jalanan macet. Eh, jam berapa pun tetap macet sih. Aku menghela napas pelan. Tugasku juga belum siap. Ini gara-gara Pak Gian pokoknya.

"Mau makan apa?"

Aku menoleh ke samping saat Pak Gian bertanya.

"Apa aja," jawabku malas.

"Air putih mau?"

"Itu mah Bapak aja yang makan," sahutku menjawab.

Aku hanya fokus menatap jalanan hingga mobil yang dikendarai Pak Gian berbelok memasuki rumah makan khas Padang.

"Ayo," ajaknya padaku, dan aku pun segera keluar dari mobilnya.

Kami berjalan beriringan memasuki rumah makan yang lumayan besar itu.

"Kita makan di apartemen aja ya. Kamu mau makan apa?" tanyanya saat kami berdiri di samping rak makanan.

Ya elah si bapak. Kirain makan di tempat. Kalau gitu ngapain aku ikut turun dari mobil. Huh.

"Yang berkuah-kuah keknya enak Pak," ujarku.

"Kalau gitu kamu mau apa?"

"Aku...ayam gulai aja deh Pak," ujarku.

"Oke. Mas pesan rendangnya dua, ayam gulai satu, cumi balado nya satu sama telur dadarnya tiga ya," pesan Pak Gian.

"Oh iya, nggak usah pakai nasi ya Mas," tambahnya lagi.

Lalu si Mas pelayan rumah makan padang itu pun mulai membungkus satu-satu, tidak lupa dengan sambalnya. Mataku seketika berhenti menatap perkedel yang sialnya tinggal dua lagi. Aku berpikir keras. Harga satu perkedel nya sepuluh ribu rupiah. Kalau beli dua, dua puluh ribu. Lumayan ongkos ke kampus. Gini-gini, aku juga perhitungan kalau beli sesuatu. Aku menghela napas pelan.

"Kamu mau itu?"

"Apa Pak?

"Itu, perkedel." Ahh, rupanya Pak Gian menyadari tatapanku yang sejak tadi mengarah ke perkedel itu.

"Hm nggak usah Pak," jawabku. Aku nggk enak sama Pak Gian. Aku udah numpang di apartemennya juga, dikasih makan gratis pula, masa minta lagi.

"Kalau kamu emang kepengen dibeli aja. Mas, boleh tambahin perke-"

"Mas, tolong tambahin perkedel nya dong. Semuanya."

Yah, nggak jadi deh makan perkedelnya. Aku menatap malang dua perkedel yang berukuran besar dan tebal itu hinggap ke pemilik asing alias ibu-ibu yang berdiri di samping kami.

Dosen Bucin (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now