PROLOG

17.1K 1K 56
                                    

K A L A itu siang pukul empat belas lima menit. Pedesaan rada metropolitan. Sejuk juga tenteram. Tak ada kereta api cepat di sini. Tak ada gedung pencakar langit kaca memenuhi tanah lapang.

Tak ada sorak ramai dari orang kantoran di jalan sini. Sibuk menelpon sembari menyeberang berbarengan. Yang hanya ada pasukan petani dengan topi kerucut dari anyaman bambu mereka.

Teduh, pupil kita terpancang ladang padi berdaun hijau yang saujana. Elok jika dibelai angin, layaknya ombak samudera. Berbuih oleh air laut yang ditabrak angin kencang. Deburan itu sayup di pendengaran. Banyak yang suka oleh suara itu. Walakin suaranya mencekam jika lama-lama terekam. Di sini, hanya semilir angin yang menenangkan tak membuat telinga tuli.

Lapang padi. Hijau. Umurnya dua bulan. Mereka hanya sebetis.

Batu itu di tengah. Di tengah hamparan sawah itu, pipih juga berkotak layaknya sebuah kasur. Dia menghadap gunung. Gunung yang jelas dari kejauhan tapi terasa dekat karena tinggi dan lebarnya dia. Kaldera itu menganga, tebing putih pun masih terlihat mata telanjang. Apalagi saat jelah tersusun anantara mega bersama sepoi-sepoi angin. Afsunnya amat terasa seperti relaksasi.

Saat ini, di batu itu, tokoh kita bernama Langit, bersama seragam putih abunya, sedang duduk berselonjor.

Mata memicing sesekali akan silau baskara di atas pucuk kepala yang kuat menusuk. Panas pun rambutnya tak ditanya lagi.

Angin kembali menyapu padang padi. Daunnya terkulai berbarengan, lalu mengibas layaknya ombak, menyapu wajah pemuda itu tergamang sesekali menutup mata saat angin itu melaluinya. Lekas kedua mata itu membuka lagi, tergurat rasa nikmat akan belaiannya.

Poni Langit terlibak sejenak. Lalu kembali jatuh ke posisi semula. Durasinya tak lama hanya sepersekian detik. Langit jadi manis dibikinnya.

Di keadaan itu, Langit masih betah. Sepatu converse yang membungkus kedua jari-jari kaki di dalam sana, bergerak hanya mengungkap rasa senangnya dia, menghela napas. Kepalanya menengadah setengah ke belakang. Terpejam dibarengi lengkung senyum dari bibir ranum.

Sekejap anginnya hirap. Hanya sebentar.

Leher lurus, tak ada jakun.

"Langit, kamu lagi apa!" pekik wanita menyumpal suaranya terbawa angin dari belakang.

Langit mengangkat kepalanya menengok suara itu.

"Enak!" kelitnya begitu riang.

Wati, suara itu darinya. Beliau mengenakan busana sawah. Dan sebuah dudukuy terpatri di atas kepala. Beliau ibunya. Akrab berkecimpung dengan sawah orang untuk mengurusinya dan berbagi hasil.

Langit merebah diri, telentang memandang langit-langit. Biru toska yang selesa terisi anantara mega-mega yang memacu, sepintas suara derum mesin dari burung besi mengudara dari sana.

Wati tergurat geram akan ketidakmengertian beliau soal putranya yang panas-panasan di siang bolong begini. Beliau lantas menyusul jalan memijak setapak yang tanahnya gembur.

Langit memandang langit biru itu. Teduh saat romannya tak bercahaya diteduhi sebuah tudung dari dudukuy kali ini.

"Jangan panas-panasan. Entar kamu sakit." tegurnya meneduhi wajah putranya oleh dudukuy.

Langit bangun, duduk mengalihkan pandangan ke gunung. Romannya jengkel.

"Umi, hayu! (Ayo!)" ajakan dari barisan emak-emak berbusana sama seperti ibunya. Mereka menunggu di tempat Wati tadi di bawah teduhan pohon petai, duduk lesehan beralas tilam jerami. Mereka telah berbenah untuk siaga ke kebun dengan pangkuan tirisan selepas mengisi perut.

Garis Langit [BL]Where stories live. Discover now