BAB 1: BERAWAL

5.7K 449 36
                                    

Sore ini, Langit dibuat jemu oleh hujan yang turun enggan meninggalkan tanah sejak tadi. Langit berselonjor kaki di kasur satu orangnya sembari menyandar ke dinding bata. Kedua matanya memejam mendengar gemericik hujan menyentuh genteng oren rumahnya.

Kecibak air dari atap yang bolong jatuh mengisi baskom di bawahnya yang siap menampung.

Nyenyat, berisikan hujan.

Sebuah benda pipih dengan colokan USB menancap pada lubang gawai yang tergeletak di sisinya.

"Langit, sini makan, kumpul!" seru wanita 41 tahun bernama Wati Nuryanti, ibu dari pria itu, di dapur meja makan. Suara seruan itu menembus kamar Langit karena memang jaraknya dekat dapur.

"Entar aja. Enggak mood!" sahut Langit memejam mata.

"Buru dahar heula, bisi gering. (Ayo makan dulu, entar sakit.)" ulang Nurojat siaga sedari tadi di meja makan. Beliau ayahnya. Usianya 54 tahun sekarang.

Langit membuka kedua matanya jengah. "Enya, (Iya,)" Langit bangun menuju sana.

Di kursi meja makan itu, Wati menyodok nasi dari bakul bambu lalu menuangnya ke tiga piring yang diletakan di meja masing-masing. Ayahnya sudah tak sabar dengan hidangan mantap. Beliau menopang dagu oleh telapak tangan menunggu makan bersama.

Drett...

Kursi berderit saat Langit menggesernya mengempas pantat di atasnya. Tomat segar ditarik dari wadah kaca bening terisi selada, timun juga daun muda pepaya. Dia gigit pertama hingga seterusnya.

"Jangan makan itu. Sakit perut entar," tegur Wati menuang sayur kangkung pada tepi piring dekat nasi Langit. Tumis kangkung itu menu pavoritnya. Menu yang selalu ada.

"Mamah, loba teuing sanguna. Sok kamerkaan. (Mamah, nasinya terlalu banyak. Suka kekenyangan.)" kelit Langit menengok nasi mengucung dipiringnya bertebar lauk-pauk dan tumis kangkung itu.

Wati senyum menanggap, "Tenanaon atuh meh kuat! 'Kan, kamuteh pelajar. Harus ka isi biar konsen pas sakola pas belajar. (Enggak apa-apa dong, biar kuat!'Kan, kamu pelajar harus ke isi biar konsen di sekolah pas belajar.)"

"Langit itu bukan tukang bangunan yang makannya harus banyak biar kuat!" Langit membangkang.

"Langit teh kudu seer emam meh kuat jiga Bapak baheula. Bener teu, Mah? (Langit itu harus banyak makannya biar kuat kayak Bapak dulu. Bener enggak, Mah?)" kini Nurojat dikubu istri.

Wati senyum menganguk setuju. "Tah eta, bener. (Nah, benar.)" Langit memalingkan wajah jengkel dirasa harus menghabiskan nasi se-gunung itu.

Makan siang keluarga sederhana ala keluarga Langit. Tak begitu spesial seperti restoran. Hanya nasi mengucung dalam bakul teranyam bambu, padahal yang makannya itu cuma tiga orang. Nasinya membumbung. Tumis kangkung kecap, sambal di cobek besar, goreng tempe, tahu goreng, empat ikan cakalang yang utuh digoreng, tumis terong ungu, lalapan hijau diwadah bening kaca, orek tempe, kerupuk putih, teko pelastik biru berisi air bening.

"Kamu udah besar, ya." Wati merhatikan Langit makan lahap juga sedikit paksa itu.

Langit mendongak ke arah ibunya, senyum. "Piraku atuh, Mah, harus gitu kecil mulu."

Garis Langit [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang