BAB 79: AKHIRAN

386 59 10
                                    

"Ibu tahu ini salah, tak sepatutnya Ibu seperti ini. Membiarkan hubungan itu. Tapi, ada satu hal yang bikin Ibu mengurun niat pisahkan kalian. Tak semudah itu. Ibu enggak mau melepas kebagiaan kamu di hubungan tabu kalian. Ibu enggak mau kalian terpisah dengan cara sakit. Bikin membekas dan hilangnya lama," Ratnasari mengusap rahang Gio pelan dengan sayang. Beliau mengecup dahi putranya yang tidurnya terlelap, lekas menuju Langit yang tidur di bawah tergelar kasur berselimut sedada.

"Entah apa yang kamu rasai. Kamu lakukan sesuai alurnya. Hingga kamu sendiri yang nentukan akhirnya, merasakan betapa sulitnya melepas, dengan cara yang paksa." Ratnasari mengecup dahi Langit lekas keluar kamar menyisakan bayang dirinya yang jalan menjauh.

Ratnasari duduk tenang di sofa ruang tamu. Beliau memijit pelipis kanan terasa pusing. Beliau mengambil satu tablet obat lekas diminum juga dilanjut oleh air bening digelas.

Derum motor dan lampu sorot di pelataran.

Tok-tok-tok

Suara pintu diketuk.

Ratnasari menengok jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Beliau menggelengkan kepala pelan lalu mengintip dari celah gorden menuju luar.

"Pulang malam kebiasaan." tegur beliau membuka pintunya.

Gian senyum menyalami punggung tangan ibunya. Helm dijinjing dan sebuah keresek hitam buah tangan.

"Gio baik-baik aja?" bisik Gian tak ingin keras.

"Gio udah baikan." Ratnasari menutup pintu.

Gian menjinjit menuju kamar atas dan beliau memperhatikan putranya dari belakang.

Gian membuka kamar Gio namun tak ada dia menuju toilet juga tak ada.

"Mending kamu tidur. Tak baik liat adikmu sakit kau tontoni." ujar Ratna melepas jaket hangat putranya.

Gian melenguh malas.

"Tapi Gian ingin lihat, Bu,"

"Jenguk adik bau ketek gini yang ada adikmu pingsan." Ratna tawa kecil, menutup cuping hidung. Gian mengendus kedua ketiaknya lalu nyengir malu memelesat menuju toilet.

***

Saat itu pagi pukul setengah enam, Gio membuka kedua matanya sepihak bangun menatap sekeliling. Kepalanya terasa pening karena terlalu lama berbaring di tempat tidur. Gio menatap sekeliling kamarnya sunyi tak ada orang hanya dia dan bunyi ketak-ketik jam di nakas. Dia bangun menggeser gorden ke kiri bikin cahaya luar menyeruak ke dalam.

"Loh, Langit ke mana?" Ratnasari datang bersamaan nampan dipegang tangan, terpatri teko keramik dan camilan ringan.

Gian yang menemani ikut heran juga tak tahu dia lirik kanan kiri.

"Langit ke sini?" Gio mengusap pelipisnya.

"Duduk dulu." Ratnasari mendekat, beliau menaruh nampan di nakas menurunkan bahu Gio agar tak banyak gerak.

Gian ikut duduk sisinya meski Gio masih tak mau memandang apalhi menoleh gio masih enggan.

"Kamu sakit apa Gi?" tanya Gian mengusap bahu adiknya.

Gio dirasa anak kecil. Dia tangkis tangan kakaknya seraya memiring alis.

"Minum dulu biar anget," Ratnasari mengulurkan gelas keramik motif bunga terisi teh hijau mengepul uap asap.

***

Langit mengobrak-ngabrik isian meja juga baju yang menggantung di lemarinya. Dia garuk kepala mendengkus kesal. Dia pegang sangkar burung yang tak ada kenarinya di sana. Langit ceroboh. Sejak dia menginap, dia melupakan burung yang diselamatkannya itu tertinggal di kamar. Minuman telah kering juga makanan biji-bijian telah habis. Langit ceroboh bagaimana jika burungnya telah mati kelaparan lalu terbang? Atau burungnya dimakan hama pengerat semacam tikus? Langit geram garuk-garuk kepala.

Dia menghela napas dia pasrah sembari memandangi sangkar kosongnya.

Dia tengok jendela nako kaca memutar ingatan sebelum berangkat. Langit lupa entah jendelanya terbuka atau tertutup, Langit tak tahu, Langit mengaut-ngaut rambutnya lagi.

Suasana makan tenang. Nurojat dikursinya juga Wati sibuk menuang nasi untuk anggota keluarga.

Wati tak enak dilihat. Wajah dingin antipati. Beberapa kali Nurojat dibikin tanya namun enggan bersapa.

Langit jalan pelan duduk di kursi dekat ayahnya. Nurojat mengusap rambut kepala Langit disambung senyum. Langit balas oleh senyum lagi.

Wati tak ikut begitu sibuk dengan wajah tak ramah.

Tak ada percakapan makan sunyi senyap terisi denting piring di medan perang.

Nurojat lirik Langit makan tenang juga Wati yang makan tanpa obrolan begitu hambar.

"Teh Mia ke mana?" tanya Langit bikin Nurojat menoleh bangga akan obrolan dimulai.

"Habiskan saja makananmu tak perlu berkata lain." sangkal Wati tak ramah.

Langit menunduk.

"Kapan acara perpisahan dimulai?" Nurojat mencair sela tegang.

"Minggu depan."

Nurojat menganguk paham.

"Nanti Mamah sama Bapak datang. Udah lama enggak gitu." Nurojat riang.

Wati tak menyahut. Beliau diam menyantap sarapan paginya.

Derit kursi bergeser dari Wati, beliau berdiri mengambil piring setengah habisnya menuju wastafel berpamit tak mengobrol.

"Kenapa buru-buru?"

"Ada acara Ibu-ibu, Pak." kelitnya.

Langit diam tak gairah makan lagi. Dia taruh sendoknya di tepian piring.

Wati meneguk air digelas lekas bersalam pada suaminya, sayang tak menyapa pamit untuk putranya, begitu tak acuh seakan di anak tirikan.

"Pak, liat burung hijau ama kuning gitu enggak di kamar Langit?" tanya Langit saat ibunya telah pergi.

"Ohh, burung itu Bapak jual!" Nurojat beraut biasa.

Langit terperanjat dia tatap ayahnya sebal.

"Kok dijual!"

"Habisnya burung itu terbang di rumah. Yaudah, Bapak bawa aja ke tukang burung. Dan Bapak enggak tahu kalo itu milik kamu." ungkap Nurojat enteng.

Langit tak bicara lagi, dia jengkel.

Hening. Lalu Nurojat terkekeh saat Langit merajuk.

"... ada kok, enggak dijual. Kamu ini gampang ngambek. Ada di dapur hawu digantung disangkar!" imbuhnya.

Langit kembali riang, buru-buru menuju sana meninggalkan Nurojat yang sedang makan. Beliau menghela napas.

Pakan biji-bijian ditaruh dicangkuan tangan. Burung kenari yang elok itu bertengger di telunjuk Langit.

"Dapat dari mana burungnya, Ngit?" Nurojat menarik sepatu boot di bawah meja hendak ke kebun.

"Di lapang."

"Kok bisa?"

"Kebetulan aja."

"Enggak mau dilepas, Ngit?"

"Langt udah coba dianya aja yang enggak mau."

"Udah sayang kali, ya."

Langit mengangkat kedua bahunya tak tahu.

"Boleh Langit ikut?" Langit memasukan burung itu kedalam sangkar lagi.

"Ke mana?"

"Ke kebun."

"Kamu diam aja di rumah nikmatin masa libur bukannya panas-panasan. Main atuh sama Gio udah jarang dia ke sini."

Langit diam tak lagi bicara.

Nurojat mengenakan topi dari anyam bambu di kepalanya lantas berpamit.

"Jaga rumah kalo main, izin sama Mama. Bapak berangkat dulu." Nurojat dua kali memijit bahu putranya meski Langit dibikin geli.

Garis Langit [BL]Where stories live. Discover now