BAB 66: UNTUK BUNGSU

281 44 0
                                    

Langit di ambang pintu dia tak melanjutkan jalannya saat pertengkaran keluarga sedang bergerilya. Suara itu di salah satu kamar. Suaranya tentu dari Mia juga Nita tengah beradu argumen kala ibu tak ada entah ke toko glosir. Langit membalikan badan seraya meninggalkan rumah. Dia jalan concong menuju sawah menuju benteng air terjun itu. Terasa mendinginkan kepalanya yang panas.

Langit duduk di tepian, kakinya menjuntai ke bawah sedang menikmati hawa dingin juga suara gemerisik air.

Langit menggulir layar gawai akan menelepon seseorang tapi, kian tak mengangkat.

Langit memejam mata menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Sebuah getaran gawai muncul, Langit senyum riang.

"Aku mau ngomong sesuatu." Langit diam mendengar Resti menelpon balik. Langit mendengarkan lalu dia sedu-sedan. Dia matikan gawai lalu dia tekan tombol power hingga gawai benar-benar mati.

Langit menunduk lalu air matanya menetes, menetes ke pahanya berbungkus celana abu. Air itu menembus lalu hilang diserap serat kain.

Langit melepas kemejanya juga celananya tertinggal celana sepaha. Dia jalan pelan menuruni tangga lalu mencebur diri di arus tenang.

Dia tenggelam tak muncul tubuhnya lagi ke permukaan. Beberapa detik hingga sebuah gelembung muncul ke atas lalu meletup saat menyentuh udara.

Langit muncul lagi, dia menarik napasnya dalam-dalam bersamaan tangisnya menyatu dengan air sungai.

"Menyebalkan. Bajingan!" umpat Langit berdiri seraya menangis di tengah sungai.

Beberapa kali Langit sesegukan lalu mengerung di lantai air. Dia memegangi kepalanya lalu dia tampar arus. Dia mencelupkan dirinya lagi ke dalam air serasa membunuh diri.

Langit terbatuk saat muncul kepermukaan.

Tubuh mengapung digenangi sungai yang tenang. Langit menatap Langit redum oleh awan. Tatapan kosong. Bibirnya membuka setengah.

Perutnya kembang kempis namun jedanya pelan. Langit memejam mata tak membuka kembali. Mengimbangi agar badannya tak terbenam ke bawah.

Sinar Matahari berubah hangat. Sinar itu menyentuh bahu Langit kala tak terbungkus kain. Tubuhnya menggigil giginya bergemeretak. Rambutnya basah dan Langit memeluk kedua lututnya di tepian benteng itu.

"Kau menang, Gi." desih Langit teringat kata-kata Kinan saat Langit di belakang sekolah. Langit memerintah pikirannya tak menuju itu. Dia menangis lagi.

Langit mengetuk kepalanya dua kali lalu Langit menekan tombol power hingga gawai menyala, dia menelepon Resti. Mata merah juga berair itulah yang nampak.

"Kita bertemu!" rujuk Langit digawai. Dia mengenakan bajunya lagi lekas berlari melewati rumah menaiki ojek menuju kediaman Resti.

Langit tak malu dengan wajah basah itu. Meski supir ojek curi pandang pada spion motor melihat seorang remaja SMA matanya merah juga berair.

"Berhenti!" suruh Langit saat tiba di tempat itu.

Langit melap wajah basahnya oleh lengan. Dia berusaha senyum. Satu langkah hingga beberapa langkah, Langit di depan pintu rumah pujaannya.

Tangan mengepal hendak mengetuk gemetar keraguan. Langit gigit daging gempal juga ranum berderet gigi.

Gawai berkampa. Langit rogoh disaku. Terjiplak seseorang menelepon dan namanya dari orang yang dia datangi rumahnya.

Langit senyum menggulir jemarinya layar itu ke atas. Lubang speaker dia rapat ke telinga sekejap layarnya redup juga padam tak timbul piksel dari backlight menerangi panel LCD.

Garis Langit [BL]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant