BAB 11: BENIH CINTA

1.5K 183 5
                                    

Senyam-senyum sambil menikmati semangkuk seblak sayur pedas di balkon mengadap langsung genteng rumah Langit. Agak jauh. Dihalang pohon kersen. Gio melahap seblak sayur buatan ibunya itu sambil tak putus agah genteng oren itu.

Ratnasari memangku keranjang baju menuju balkon. Beliau menggantung bajunya di tali untuk dikelantang.

Gio tak menyadari, terus menikmati seblaknya disambung senyam-senyum.

Ratna mengernyit. "Gi?"

Gio terkesiap menoleh ke ibunya. "Iya, Bu, ada apa?"

"Senyam-senyum. Mana tatapannya lurus lagi?" tegur Ratna terasa ketar.

Gio tawa kecil. "Maaf. Habisnya tadi lucu Bu, liat si Langit mana enggak pake baju, rambut kek badai, nguap kek kudanil mana galak lagi pas beli kerupuk. Haha. Jadi keinget."

Ratna mangut-mangut paham Gio bertingkah begitu. "Kamu gangguin?"

Gio menggeleng kepala. "Enggak. Dianya aja yang kebetulan tidur. Terus Ayahnya bangunin. Aku, kan, enggak tau."

Ratna mengentak baju basah untuk di jemur. "Ibu liat kalo kalian ketemu, kek enggak akur?"

Gio mengedikkan kedua bahunya. "Dianya aja yang sensi. Gio enggak!"

"Bikin enggak sensi dong. Jangan dibikin gitu mulu." imbuh Ratna.

Gio melenggong lalu kembali menikmati seblaknya dengan tenang.

***

Pukul delapan malam. Saat ini di meja makan. Gio dan Ratna duduk berhadapan dibatas meja yang atasnya terpajang menu malam.

Keduanya acap menikmati makan malam bersama, berdua tanpa ditemani Gian kakak sulung. Makan malam berdua yang selalu terulang. Gian jarang pulang karena tugas berita, larut malam kadang tak pulang beberapa bulan dikejar deadline.

Ratna merasa kesepian. Merasa hampa tanpa kumpul bersama putranya sejak Gian mendapat kerja. Terasa lebih hampa saat mendiang suaminya tak ada, memperparah keadaan perasaan Ratna yang berkecamuk.

Ditinggal suami tiada, hidup bersama dua putranya dan satu telah menjalani kehidupan mandiri jarang pulang. Lalu terakhir ini ditemani putra kedua menginjak kelas dua belas SMA yang pasti hari-hari nanti akan terasa lebih hampa karena Gio juga akan menjalani hidup mandirinya dengan dunia kerja atau lanjut kuliah. Keduanya sama-sama mengerikan.

Rumah akan sepi, lebih sepi tak sesepi saat ini bersama putra keduanya Gio.

Ratna tampak murung, mengaduk nasi opor ayam oleh sendok. Tergurat berat di wajah itu. Beliau pandang Gio yang berhadapan. Gio tengah menikmati makan malam dengan tenang dibarengi jemari kanan menggulir layar gawai di meja. Dia senyam-senyum.

"Gio ...," lirih Ratna.

Gio mendongak, menatap Ratna dengan ramah. "Iya, Bu?"

"Kamu lanjut kuliah atau kerja setelah lulus?"

Gio menelan makanannya yang tersisa di mulut lalu meneguk air di gelas.

"Gio enggak kepikiran buat kuliah. Gio ingin kerja."

Ratnasari senyum menanggap. Pilihan putranya sama-sama berat. Keinginannya langsung ke arah itu membuat pertemuan dikemudian kelak terasa renggang. Gio kerja mungkin fokus meraih cita-cita dengan kehidupannya yang baru. Apalagi laki-laki harus berprinsip.

"Kalo Langit gimana, kuliah?" Ratna mengalih isu.

Gio tertawa pelan, "Diamah aneh. Boro-boro kuliah, wong di kelas aja enggak mikirin apa gitu. Keknya dia sama, kerja langsung." ungkap Gio tawa kecil.

Garis Langit [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang