BAB 74: LAKUKAN

295 42 1
                                    

Bukit itu menjulang dan atasnya datar seperti lapang. Desir angin melahapnya. Melahap akan gelombang pasang di udara. Tak terlihat tapi dapat dirasai. Dingin es. Tak bikin daging membeku dingin. Daging masih hangat. Bunyi gemuruh dari baling memutar udara amat cepat. Baling hitam ditancap oleh tiang. Surai hitam di belakang dan dera melambai tergerak angin, badannya agak melengkung  ke belakang bersambung keluar deburan menantang angin.

Gubug sederhama tak terisi bapak-bapak lalu, kini lengang tak ada orang. Hanya tersisa kenangan obrolan mereka. Lapang diisi tiang baling bambu yang berkecamuk menantang angin. Ribut juga berisik.

Gio di gubug itu. Memandang lurus ke kolecer miliknya yang terlihat murung tak seperti yang lain pamer suara indah. Benderanya berkibar namun baling bambunya memutar lunglai. Gio pikir olinya tak terlumas atau mengering. Gio dekat sekejap angin melibak wajah juga rambut. Di tengah dikerumuni tiang tinggi juga atasnya baling bambu yang mengamuk. Gio tak acuh. Dia jalan concong lalu dia menengadah kepala menatap bambu baling miliknya yang berputar lunglai.

"Langit," gumam Gio lalu menggucang tiangnya agar baling bambu berputar.

Baling bambunya mulai berputar awalnya pelan lalu memacu seperti baling pesawat. Desisan lalu suara gemuruh juga berdehem oleh angin.

Gio putar badan dia menjamah jalan setapak tanah menuju bawah. Sungai bening airnya deras tapi tenang. Gio yakin. Lengang tak ada orang. Tak seperti dulu-dulu teriakan bahagia dari anak-anak bermandi ria disana.

Gio melompat dari batu kebatu agar sepatunya tak basah. Dia memanjat batu besar ditengah sungai, Gio merebah diri dengan telentang juga kedua tangan menyilang sebagai bantalan.

Mega. Mereka berkumpul di langit gempal bernas. Bergerak lambat. Cerah juga langit itu biru. Biru laut tapi tak yakin warnanya itu. Gio pandang oleh pupilnya lekat-lekat.

Gio gerakan bola matanya kekanan dengan pelan lalu jari-jarinya merangkak kesisi itu. Dia rabai lantai batu yang pipih bergelombang juga berlubang.

Ingatan Langit berkelebat bikin Gio memejam mata.

Angin itu sejuk. Sejuk dirasai pun entah wujudnya apa. Terasa hantu jika dipikir. Datang juga menyapa namun tak berwujud tapi orang suka dengannya. Di tempat lain, sebuah lapang dari bukit. Padang rumput setengah miring. Rumputnya halus seperti taman. Rumah orang terlihat kerdil. Semuanya terlihat bahkan sekolahnya pun terlihat jelas meski ukurannya sama kerdil.

Gio diposisi seperti di batu. Dia pandang pemandangan rumah warga itu. Tatapan lurus nampak satu juga bermakna lain. Gio menyamping badan setengah meringkuk dia usap lantai rumput oleh jari jemari.

"Kamu lagi apa, Beb?" Gio mengobrol sendiri.

Sebuah tawa amat manis juga ceria menggelar sana. Tak ada tawa lain selain tawa juga dersik.

Seragam putih juga celana abu tergolek di batu tadi. Gio bertelanjang dada muncul dari permukaan air. Dia mandi merasakan air dingin dari bukit.

Gigi gemeretak juga kedua lutut dipeluk di tengah batu, dia tatap air berarus nakal itu yang berhasil bikin dia kedinginan hipoternia.

....

"Ibu mau ke warung. Jangan kemana-mana." Ratnasari berpesan menutup pintu rumah.

Gio tak sahut berdiam di sofa meneguk minuman hangat.

"Langit basah kuyup?" terkuping suara Ratna oleh Gio saat dia sembunyi di samping rumah Langit.

"Iya, Bu katanya keselokan terus mandi di sungai buat bersihin, aneh-aneh aja." Wati menimpali.

Gio menguping terbersit heran akan obrolan tadi, 'Langit basah kuyup' Gio terdiam mencerna itu alisnya bertaut kesekian kali lalu tengok jendela nako di dinding dekatnya. Dia mendongak merhatikannya.

Garis Langit [BL]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu